Senin, 24 Oktober 2016

Saudara (?)

Sudikah kau berbagi pundak denganku?
Seperti hujan yang setia
Pada tanah yang merindu

Sudikah kau tetap menyapaku?
Meski jalan yang ditempuh kadang berbeda
Sebagai konsekuensi kemanusiaan kita

Tujuan kita masih sama
Hanya cara yang mungkin berbeda
Sudut pandang kita masih sama
Tapi wawasan kita yang membeda

Kau kata aku menjauh
Kau bilang aku mengasing

Tahukah kau rasanya menjadi asing?
Tahukah kau rasanya dijauhkan?

Kejam adalah ketika kau disingkirkan
Sementara dulu kau memperjuangkan
Lalu kau bilang aku harus bertahan?
Coba dulu kau rasakan...

Kau bilang persaudaraan
Lalu di mana kau saat saudaramu tengah terjepit?
Kau bilang soliditas
Lalu di mana kau saat nasibku nyaris kandas?

Aku bicara tentang seorang di pinggiran jurang

Jogja, 24 Oktober 2016

Selasa, 06 September 2016

Sepenggal Inspirasi Tentang Pencarian Sebuah Arti

Dunia menawarkan begitu banyak ruang kontribusi. Sebagaimana tujuan dari penciptaan kita sebagai manusia, salah satunya adalah untuk menjadi pemimpin di muka bumi yang selanjutnya memiliki peran untuk memakmurkan bumi. Ruang kontribusi yang begitu luas, wilayah atau cakupan kepemimpinan yang meliputi banyak aspek juga menuntut kita untuk menentukan peran apa yang akan kita ambil dalam rangka berkontribusi untuk tujuan tersebut. Dunia kontribusi adalah persoalan bermain peran. Menariknya, kita tidak pernah tahu bahkan sejak kita dilahirkan, apa peran spesifik yang harus kita masuki, yang harus kita mainkan. Kita harus mencari untuk kemudian menemukan, menemukan, untuk kemudian memilih dan mengambil tanggungjawab lebih.

Seperti kemarin, saya menghabiskan beberapa waktu untuk relaksasi pikiran dan sedikit bernostalgia. Saya punya koleksi anime, yang bagi saya cukup menarik untuk disimak ketika di masa kecil dulu. Apa indikator menariknya, sederhana saja, membekas. Salah satu anime yang membekas bagi saya adalah Digimon, yang meskipun saya hanya mengikuti sampai Digimon 2, dan sekarang Digimon Tri; saya tidak mengikuti serial digimon yang lain karena bagi saya ceritanya sudah ngawur dan terlalu dipaksakan. 

Awalnya tidak terpikir untuk mendapat hikmah atau inspirasi dari serial anime tersebut, namun nyatanya berbeda. Di Digimon 2 saya menemukan ada satu tokoh yang bernama Blackwargreymon, yang dia dicipta dari menara kegelapan yang notabene bukanlah makhluk yang bernyawa. Ia hanyalah mutant yang tercipta tanpa hati dan perasaan. Namun, Blackwargreymon berbeda. Entah tersebab sebuah kecelakaan atau apa, tapi dia terlahir dengan perasaan; sedih, kesepian, dan menderita. Dengan kekuatannya yang besar itulah kemudian dia mulai mencari, arti dari kehadirannya di dunia. Dia menyadari bahwa dia dilahirkan dari sebuah menara kegelapan yang seharusnya tak berperasaan, hanya tahu bagaimana bertarung dan menghancurkan, tapi ya, sekali lagi, dia berbeda. Dia mencari dengan segenap kekuatan. Dia tidak peduli lagi mana kawan mana lawan, dia hanya akan melawan siapapun yang berusaha menghalanginya untuk mendapatkan jawaban atas perasaannya, atas arti dari arti hadirnya di dunia. Hingga akhirnya, setelah melewati banyak dialog dan pertarungan, ia menemukan arti dari kehidupannya. Di tengah kondisinya yang sekarat karena serangan musuh, dia memutuskan untuk mengorbankan dirinya agar menjadi segel antara dunia nyata dan dunia digital. Blackwargreymon akhirnya menemukan arti hadirnya di dunia, di penghujung hidupnya. Dia menemukan ruang kontribusinya.

Blackwargreymon bukanlah tokoh utama dalam anime tersebut. Tapi saya mengambil inspirasi yang luar biasa dari tokoh itu, tentang sebuah pencarian ruang kontribusi, ambisi, dan penderitaan yang dia alami. Kesepian dan penderitaan yang dia alami justru membuat dia semakin kuat, dan semakin mencari. Hingga akhirnya dia mengorbankan dirinya untuk melindungi orang lain, yang dia maknai menjadi arti dari kehadirannya di dunia.

Selamat mencari, semoga kita segera menemukan ruang itu sebelum masa kontribusi itu berakhir...

Wates, 6 September 2016

Rabu, 17 Agustus 2016

Merdeka

Merdeka itu bebas, bebas dari penghambaan kepada selain Tuhan
Merdeka itu berkuasa, berkuasa atas diri dan pilihan hidup
Merdeka itu berdaulat, berdaulat atas ideologi dan sumber daya

Wates, 17 Agustus 2016

Sabtu, 13 Agustus 2016

Agustus; Sebuah Tanya

Waktu. Satu kata sederhana yang menyimpan banyak makna. Kehadirannya misterius, begitu pula kepergiannya yang sering kali tak terasa. Waktu. Salah satu unsur kehidupan yang selalu taat pada titah Tuhannya. Tak pernah berhenti, tiada menunggu. Ia akan terus berputar dan bergerak maju dari awal menuju akhir, dari tiada menuju tiada. Waktu. Satu hal yang biasa namun menyimpan kekuatan besar. 

Perguliran waktu telah sampai pada titik ini kembali. Pada bulan yang bagiku spesial, di antara waktu luar biasa yang telah Allah hadirkan dengan kejutan-kejutan indahnya. Sekarang sudah bulan Agustus. Waktu di mana aku bermula, meniti takdir dan menghitung waktu untuk kembali padaNya. Agustus pula yang menghantarkanku pada sebuah pertaruhan besar, kala itu. Begitulah aku memaknai Agustus. Dengan segala peristiwa manis dan pahit di dalamnya.

Satu tahun, dua tahun, tiga tahun, dan selanjutnya. Tidak terasa. Agustus ini adalah Agustus yang ke 24 dalam sejarah hidupku. Dengan segenap perubahan dan peristiwa di tiap tahunnya, entah takdir apalagi yang akan menghampiri pada Agustus kali ini. Peristiwa indah macam apa lagi yang sudah diatur semesta untuk makhluk kecil ini, di bulan Agustus yang ke 24. 

Agustus, bagiku bukan sekedar hitungan bulan dalam kalender Masehi.
Tapi ia adalah sebuah tanya yang dinanti jawabnya.

Yogyakarta, 13 Agustus 2016

Sabtu, 06 Agustus 2016

Tiga Jam Lagi

Beterbangan kian kemari
Berkejaran ia berlari
Satu dua di antara pagi
Hadir penuhi takdir Ilahi

Embun pagi
Udara tipis
Dingin
Menanti hadir mentari

Anak manusia kan tetapkan janji
Atasnya, atas sebuah takdir
Berada pada temu yg sejati
Cinta sejati

Perjalanan yg panjang telah pada ujungnya
Pendam cinta dalam sepi
Simpan rasa dalam hati
Hingga tiba waktu yg dinanti

Sekira tiga jam lagi
Takdir kan tertunai
Janji kan tertuai
Menuju kebahagiaan hakiki

Madiun, 6 Agustus 2016
Tiga jam menuju akad sahabat

Jumat, 29 Juli 2016

Paskibra

Pengalaman adalah guru terbaik. Pengalaman selalu hadir dengan  kejujuran. Saat kesakitan harus kita rasakan, jadilah ia menyakitkan, dan sebaliknya. Hingga rasa sakit atau bahagia itulah yang kemudian menjelma menjadi sebuah referensi satu fase kehidupan bilamana kita berhadapan dengan situasi yang nyaris serupa, meski tak sama. Dengan pengalaman itulah kita bisa belajar untuk tidak jatuh ke dalam lubang yang sama, ataupun meningkatkan capaian atas keberhasilan sebelumnya.

Pengalaman identik dengan ruang belajar. Di mana setiap orang akan punya ruang belajar masing-masing yang tentunya akan sangat membekas dan mempengaruhi karakter diri dan bagaimana ia berperan di dalam sebuah lingkungan. Seorang yang berpengalaman aktif di lembaga sosial, biasanya akan terlihat berbeda dalam bersikap atau memandang sesuatu dibandingkan dengan orang yang tak punya pengalaman di wilayah itu.

Begitu pula dengan saya. Hari ini, masih di Wates, saya didapuk oleh pihak sekolah untuk membantu pendampingan pelatihan TONTI (Pleton Inti) bagi siswa SMP N 1 Wates. Sedikit berbeda dengan sistem yang saya temui di Jawa Barat, di mana kegiatan pelatihan baris-berbaris, kedisiplinan, dan kepemimpinan bisa ditemui di kegiatan ekstrakurikuler Paskibra, di sini semua siswa dilibatkan dalam proses seleksi Tonti yang nantinya akan dilombakan, hanya saja kemudian tidak dibuat menjadi ekskul resmi. Kelanjutan dari anggota Tonti yang telah diseleksi ini biasanya akan mewujud menjadi semacam komunitas yang bernama DPT (Dewan Pelatih Tonti) yang di tahun selanjutnya akan bertugas melatih generasi penerusnya di Tonti.

Alhamdulillah, saya sudah tidak asing lagi dengan kegiatan baris-berbaris semacam ini karena sejak saya di bangku SMP sampai dengan lulus SMA saya aktif berkegiatan di Paskibra. Dari mulai menjadi anggota sampai menjadi pengurus. Di SMP dan SMA saya sempat menduduki posisi yang sama, sebagai Wakil Ketua, atau disebut Wakil Lurah dalam Paskibra di tempat kami, dan PLT Lurah ketika Ketua Paskibra pada waktu itu menjadi delegasi sekolah di Paskibraka tingkat Kabupaten. Saya sendiri sempat ikut seleksi, hanya saja gugur di seleksi akhir, konon karena tinggi badan saya kurang 1 cm.

Paskibra. Bagi saya ia bukanlah sekedar organisasi. Ia adalah rumah tempat saya bermula. Saya sangat mengakui banyak karakter diri dan sikap yang saya jalani saat ini tidak lepas dari tempaan yang saya dapatkan di paskibra. Bagaimana kami diajarkan untuk menjadi manusia yang tidak egois, karena kebersamaan dalam paskibra sangat dijunjung tinggi. Satu bahagia semua merasakannya, pun ketika satu sakit, semua akan merasakannya. Itulah mengapa persahabatan dan soliditas kami di paskibra cukup disorot pada waktu itu. Selain itu, disiplin jelas menjadi pegangan. Bagaimana kami ditempa untuk melaksanakan banyak hal tepat pada waktunya. Keterlambatan akan berbuah konsekuensi, entah itu berupa push-up atau hal yang lainnya. Keberanian dan daya tahan, itu pula yang saya dapatkan dari paskibra. Mungkin sekarang tamparan, tendangan, atau makian adalah hal yang tabu untuk dilaksanakan dalam pembelajaran apapun di sekolah. Dan alhamdulillah, dulu saya masih merasakannya. Namun, justru itulah bagi saya yang menumbuhkan daya tahan dan keberanian menghadapi berbagai situasi. 

Sejujurnya saya ingin menulis banyak, hanya saja waktu yang tidak mencukupi.
Sederhananya, saya sedang ingin mengungkapkan kerinduan yang teramat dalam pada lingkungan itu, kebersamaan itu, disiplin yang tinggi itu, lapangan yang panas, lelah yang teramat, bahkan sampai sedikit kontak fisik tanda cinta dari senior kami. 

Terima kasih, PASKIBRA,

Wates, 29 Juli 2016

Sabtu, 23 Juli 2016

Untuk Bangsa dan Cinta Kita

Langkah telah terhenti di tepian
Bertatap nanar, bermandikan kenangan
Gedung serasa rumah di hadapan
Sajian lengkap dengan kudapan

Di sana aku habiskan waktu
Mencoba belajar menjadi satu
Belajar mencintaimu
Mencintai setiap sudut sempit gedung itu

Kemudian aku menemukan
Sebuah alasan
Untuk bertahan
Dengan segenap hati dan kekuatan

Pada suatu pagi perkenalan itu
Kau hadirkan senyum manismu
Kau cium tanganku
Dan berkata, "Selamat pagi, pak."

Sekira sebelas tahun jarak kita
Tapi aku percaya
Bahwa jarak kan ajarkan arti beda
Untuk lengkapi yang tak sama

Segeralah bertumbuh
Dan usaplah peluh
Hadirkan dirimu seluruh
Dan lahirlah utuh

Untuk bangsa, dan cinta kita..

Wates, 23 Juli 2016

Kamis, 21 Juli 2016

Apa Yang Kau Dengar?!

Jalanan sore ini kian ramai. Mereka yang tak kita kenali berlalu lalang dengan tujuan masing-masing. Kita tidak tahu apa yang ada dalam hati dan pikiran mereka, sebagaimana kita tidak tahu sebaik atau seburuk apa harinya. Lampu jalanan berpendar temaram. Seakan menjelaskan tentang sendu dan kesedihan tentang bergantinya suasana. Tentang kesepian dan kesalahan, sebab takdir yang telah dipilihnya sendiri.

Aku duduk terpaku. Di hadapan layar beku, mematung, menatap pada kekosongan dengan pikiran entah ke mana. Bertujuan sebenarnya. Sebuah berita yang tak pernah terduga, menjadi sebuah kenyataan pahit. Bukan, bukan tentang kisah patah hati atau pun sakit yang ku alami. Tapi tentang orang lain, yang entah mengapa aku merasakan pula perihnya hati.

Hey! Apa sebenarnya yang kau dengar?! Kau tahu tindakan itu salah, kau tahu tentang dosa, dan kau pun tahu tentang batasan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim bukan?! 

Bukan, ini bukan kisahku, pun bukan sebab ku patah hati. Hanya saja ada rasa yang menyesakkan ketika kita tahu seorang yang kau hargai telah disakiti dengan cara yang begitu perih. Terlebih dia pun sadar alami. Aku tak mencintai layaknya kisah adam dan hawa, mungkin sekedar peduli. 

Lalu bagaimana kisahmu akan berakhir? sementara lelaki, atau lebih layak ku sebut banci, yang tak bertanggungjawab itu telah pergi bersama orang lain tanpa rasa bersalah sama sekali. Ke mana lagi akan kau tuju langkah kaki dengan membawa takdir yang tak bisa kau ubah lagi? sekali lagi, aku hanya peduli. Apa yang sebenarnya kau dengar? 

Biarlah waktu kan menghakimi, aku hanya berharap kau sadar dan kembali, pada Tuhanmu, dan bersegera bersibuk diri dengan taubat dan apapun yang kau bisa untuk memperbaiki takdirmu. 

Aku tahu itu menyakitkan, bahkan bagiku yang bukan siapamu. Aku hanya peduli, tak lebih.

Yogyakarta, 21 Juli 2016

Jumat, 15 Juli 2016

Kesempatan

Setiap hari baru yang kita jalani adalah kesempatan. Disadari atau tidak, di masa lalu, mungkin banyak detik yang tidak kita gunakan dengan baik. Padahal seharusnya setiap detik kita berakhir baik. Sampailah pada detik ini, ketika pun saya menuliskan catatan ini entah pada detik ke berapa memulai,  dan sampai detik ini masih bisa melanjutkan, itu adalah sebuah kesempatan. Kesempatan untuk memperbaiki yang telah lalu, kesempatan untuk sesuatu yang baru.

Dalam beberapa waktu, saya menemukan tentang penyesalan yang datang belakangan. Baik itu dari diri pribadi maupun yang saya dapati dari orang lain. Mereka yang bercerita tentang lukanya di masa lalu, ataupun penyesalan yang berkepanjangan karena telah menggoreskan sesuatu. Pun pada diri sendiri, selalu ada penyesalan atas segala sesuatu. Wajarlah, manusia selalu mengejar sempurna, sesekali lupa bahwa ada yang Maha.

Malam ini saya hanya ingin menulis singkat saja. Bahwa hari baru yang kita dapati adalah sebuah kesempatan. Setiap orang pasti punya masa lalu, tetapi ia juga punya masa depan. Biarlah yang lalu menjadi sejarah, dan yang akan datang menjadi sebuah kenyataan yang kita upayakan dari mimpi dan obsesi kita. Baik itu yang berkaitan dengan perbaikan masa lalu, ataupun visi hidup selanjutnya. Tuhan akan selalu membersamai hamba-Nya yang sabar dan percaya, menjadi tangguh berusaha tak mengeluh.

Yogyakarta, 15 Juli 2016

Rabu, 29 Juni 2016

Kota Sendu

Entah sejak kapan, kota ini menjadi penuh dengan nuansa ketika jejakkan kaki di sini. Aku mengenalmu lewat perantara, kemudian kita berbagi cerita. Tak dinyana, kita saling menemukan pelengkap atas kekurangan kita masing-masing. Hidupku, hidupmu, entah takdir macam apa yang menarik kita pada pertemuan yang (nyaris) tak pernah kita sengaja itu.

Setiap kita punya masa lalu, begitu juga dengan kamu dan aku. Kota ini menyiratkan masa lalumu. Dan aku masih mencari jawaban apakah kota ini menyiratkan masa depanku? Entahlah.

Begitu juga sore ini, ketika aku kembali menghampiri kotamu, meskipun sesaat, namun ada nuansa yang begitu kuat. Kotamu menyambut begitu sendu, seakan memaksaku untuk mengingatmu, menghadirkan kembali cerita-cerita kita. Apakah ia hanya hadir sebagai angin lalu? Ataukah sebuah pertanda akan temu dari kesejatian yang satu? Entahlah..

Di sudut gelap ini aku mencari, tentangmu, tentangku, dan arti takdir dari pertemuan kita. Kita telah bersepakat bahwa Tuhan takkan hadirkan seseorang tanpa alasan. Selalu ada rahasia dibalik rahasia. Bagaimanakah akhir kisah kita? Biarlah waktu yang menjadi penentu, tentang arti hadir di antara kita.

Bogowonto gerbong 2: 3B, 29 Juni 2016

Senin, 20 Juni 2016

Pencarian

Ku tulis, ku hapus kembali
Ku tulis lagi, ku hapus lagi
Ada yang hilang: Inspirasi

Ku berlari mencari kopi
Sebagai penguat basa-basi
Tak ada

Selamat! Kau berhasil lagi kali ini
Menghantui sejenak pikiran dan hati
Mengiris logika dan mematikan akal

Entah di mana ku cari kemudian
Kata-kata yang hilang
Seperti kali ini
Ku biarkan jari menari, tanpa henti

Tak tahu, apa yang ku tuju lewat tulisan ini
Aku hanya mencari satu jawaban
Untuk sebuah inspirasi
Dan dua kehendak yang berkaitan

Di hela malam aku merenung
Di mana kan ada jawaban
Jawabnya satu: Tuhan

Yogyakarta, 20 Juni 2016

Rabu, 15 Juni 2016

Cinta

Tidak semua hal perlu definisi.
Alasan untuk pulang ataupun pergi
Tak lelahnya ia mencari, menanti

Dalam santun ia bermakna
Kekuatan besar ia pendam, rapat

Hingga tiba waktunya
Yang sejatinya terikat kan saling melihat
Yang saling mencari kan berhenti
Pada sebuah titik tertentu
Pada waktu yang tepat, dan suasana yang layak.

Saat takdir tunaikan alurnya
Cinta

Yogyakarta, 15 Juni 2016

Kamis, 09 Juni 2016

Silence

Ada yang hilang
Entahlah apa itu
Ada kekosongan
Entahlah apa itu

Mencari
Masih
Terus
Siapa? Tak Tahu

Selasa, 07 Juni 2016

Hujan, kenangan, dan lintasan masa depan

Hujan selalu punya arti lebih.
Seringkali menyiratkan masa lalu,
tak jarang hadirkan lintasan bayang masa depan.
Selayaknya ia hadir sebagai rahmat
Pastilah ada arti, tak hanya secara harfiah

Ketika hadir ia dalam renung, merebak inspirasi
Tak jarang bentuk sesal masa lalu, tak elok terus diratapi
Hujan, bagi sebagian orang ia tak menyenangkan
Tapi bagiku, tidak. Ia adalah inspirasi
Begitulah caraku memaknai hujan sebagai rahmat
Di samping makna rahmat secara harfiah

Hujan, kenangan, dan lintasan masa depan

Yogyakarta, 7 Juni 2016

Senin, 15 Februari 2016

Dan Bila Telah Tiba Waktuku

Dan bila telah tiba waktuku
Ku tak mau seorang pun intervensi
Cukup aku dan Tuhanku
Menjadi penuh seluruh

Dan bila telah tiba waktuku
Janji kan tertunai
Hasil kan dituai

Dan bila telah tiba waktuku
Alam seisinya menjadi saksi
Ku dekap janji sepenuh hati
Meretas visi dan ambisi

Yogyakarta, 15 Februari 2016

*Dalam sebuah renungan di tengah hiruk pikuk manusia, Sikunir, 14 Februari 2016.

Rabu, 27 Januari 2016

Menjemput Takdir

Hari ini saya terlibat sebuah diskusi dengan beberapa kawan dan guru. Dari tema kemanusiaan, hingga peluang gerakan besar lewat kebudayaan. Betapa gagapnya kita menghadapi gempuran zaman, di mana seharusnya kita mampu berselancar di tengah gelombang. Kemudian diskusi berlanjut, hingga mencapai tematik pernikahan.

Guru saya sudah menikah, sementara saya dan kawan saya belum. Pada diskusi tersebut beliau menyampaikan beberapa hal sebagai bekal bagi saya dan kawan saya untuk mempersiapkan segalanya menjelang pernikahan. Dimulai dari mempersiapkan dalam konteks internal, maupun eksternal.

Pada konteks internal, niat dan orientasi menjadi penekanan. Guru saya berkata bahwa ini adalah bagian yang paling rumit, namun paling fundamental. Banyak orang yang gagal pernikahannya atau kesulitan dalam menjalani mahligai rumah tangga karena belum sempurna niat dan orientasinya. Niat dan orientasi akan tentukan langkah selanjutnya. Ia akan menjadi bahan bakar sekaligus pengingat di kala kejenuhan dalam perjalanan didapatkan. Sepasang suami-istri dapat dikatakan sebagai teman hidup, teman selamanya, dan selamanya itu bukan waktu yang sebentar bukan? Maka yang menjadi pertanyaan mendasar yang harus dijawab sendiri adalah mengapa kau ingin menikah? Pertanyaan sederhana namun rumit. Di sinilah faktor transendental harus menjadi yang utama. Di mana pernikahan dilandasi karena ketaatan pada Allah swt. Ketaatan untuk memenuhi segenap agama, ketaatan untuk menjaga diri dari godaan dunia, ketaatan dalam rangka memperbesar kekuatan dalam menebarkan kebermanfaatan bagi semesta. Perenungan mendalam harus dilakukan. Niat dan orientasi harus diluruskan. Rumit memang, tapi bukan tidak mungkin.

Kemudian yang kedua, masih dalam konteks internal, ilmu dan kapasitas diri menjadi penting. Pada hal ini, persiapkan diri tentang pengetahuan tentang esensi pernikahan, bagaimana melaluinya, dan jangan lupakan bahwa salah satu tujuan pernikahan adalah menambah keturunan, maka kemampuan untuk untuk menjadi ayah atau ibu, dan mendidik anak pula harus dipelajari. Tak harus sempurna, tapi paling tidak mulailah sebelum proses pernikahan dilakukan.

Ketiga, siapkan visi dan misi pernikahan. Rencana ke depan harus sudah dipikirkan walaupun sangat mungkin terjadi perubahan dalam perjalanan. Tentang peran keluarga di masyarakat, hingga materi.

Pada konteks eksternal, baru bicara tentang dengan siapa akan menikah. Sekali lagi, guru saya menekankan, bahwa sebelum bicara dengan siapa akan menikah, pastikan niat dan orientasi sudah benar. Penekanan itu terus beliau ulang. Kemudian, barulah memilih dengan siapa akan menikah. Jika sudah mempunyai kecenderungan hati, tak mengapa langsung kau ikhtiarkan. Karena kita sama sekali belum mengetahui siapa yang menjadi jodoh kita. Satu-satunya cara adalah dengan mengikhtiarkan dengan melamar. Jika jodoh akan bersama, jika tak jodoh paling tidak sudah ada kepastian dengan berusaha. Melamar orang yang dicintai bukanlah sebuah kesalahan, ketika memang dibingkai untuk pernikahan, bukan sekedar modus atau sesuatu yang mengarah pada fitnah. Namun jika belum punya pilihan, tak ada salahnya meminta rekomendasi pada orang kepercayaan.

Dalam hal pasangan, harus dipahami bahwa menikah bukan sekedar menyatunya dua orang yang saling mencintai. Tapi pernikahan adalah persatuan dua keluarga besar, dua kebudayaan, dan dua karakteristik yang berbeda yang tentunya hadir dengan kebaikan dan kekurangan masing-masing. Ini juga harus dipertimbangkan, karena kita seringkali lebih siap menerima kelebihan dibandingkan dengan kekurangan. Pada hal ini, jangan pernah berpikir untuk mendapatkan yang sempurna karena jatuhnya akan kecewa, namun berhajatlah untuk menghebatkan diri bersama.

Begitulah kira-kira diskusi kami hari ini, semoga menginspirasi mereka yang tengah berjuang menjemput takdir.

Yogyakarta, 27 Januari 2016

Rabu, 20 Januari 2016

Mencari dan Menemukan

Malam ini kembali ke Jogja, setelah empat hari berada di Cirebon. Kemudian sejak menginjakkan kaki sampai dengan detik ini disibukkan oleh sebuah pencarian. Hingga kemudian inspirasi hadir dan mengarahkan jari untuk menuliskan.

Mencari dan menemukan. Dua hal yang akan selalu kita temukan dalam kehidupan. Dimulai dengan pencarian paling filosofis tentang sebuah kebenaran, hingga pencarian paling umum, tentang alamat, atau pencarian paling melankolis, tentang cinta. Mencari adalah sebuah proses, untuk menemukan. Mencari adalah kerja. Mencari adalah upaya.

Dalam proses pencarian, akan ada banyak rintangan, tantangan. Bisa jadi salah di tengah jalan, bisa jadi tak berujung menemukan. Bisa jadi belum. Kuncinya adalah bersabar.

Dan puncak kebahagiaan dari sebuah pencarian adalah penemuan. Hasil dari upaya keras, perjuangan tiada kenal lelah. Bahagia adalah jawaban perasaan atas sebuah penemuan. Ada sebuah kepuasan batin yang kau dapatkan ketika kau telah menemukan.

Biarlah tulisan singkat ini menjadi pengingat, tentang sebuah pencarian dan penemuan.
Dan malam ini aku telah menemukan.

Di tengah pencarian bahan referensi skripsi,
Yogyakarta, 20 Januari 2016

Rabu, 13 Januari 2016

The Escaped

"Mutiara akan tetap bersinar, meskipun ia ditenggelamkan 
dalam lumpur yang pekat selama ratusan tahun."

Begitu kira-kira sepenggal kalimat yang saya temukan dalam buku The Escaped yang ditulis oleh Rizki Ridyasmara yang baru saja saya selesaikan hari ini. Buku ini hadir dalam bentuk novel yang menceritakan tentang perjalanan beberapa orang penggila sejarah dan beberapa punya kaitan langsung dengan sejarah tersebut, dalam menyelamatkan buku misterius yang ternyata adalah Brandenburgers Files, yang merupakan catatan rahasia Nazi tentang penyelamatan Adolf Hitler dari Berlin ketika Reich ketiga harus tumbang di tangan tentara merah dan sekutu. Buku rahasia yang dikisahkan telah hilang selama tiga puluh tahun terakhir ini diincar pula oleh kelompok golden jack kolektor barang-barang bernilai historis melalui kaki tangannya di berbagai negara untuk sejumlah uang yang sangat tinggi. Dalam petualangan ini, sekian banyak sejarah terkuak seperti dugaan kuat bahwa Indonesia adalah atlantis yang hilang, persaudaraan elit di kalangan partai Nazi, gauleiters, yang bahkan masih bertahan sampai sekarang, atas konsep bloodlines yang dipertahankan, hubungan dekat antara Baron Rotschild dengan Adolf Hitler yang ternyata adalah cucunya, konspirasi dibalik perang dunia I dan II, sampai dengan ditemukannya makam Adolf Hitler di Surabaya yang dibuat atas nama Dr. G.A. Poch. Kemudian satu indikasi fakta lagi yang menarik bagi saya, bahwa Adolf Hitler meninggal dalam keadaan muslim.

Beberapa yang saya temukan dalam buku ini memang fakta, walaupun dibawakan dengan dramatisasi ala novel. Walaupun memang dalam proses pembuktiannya masih membutuhkan penelitian lebih lanjut. Kita sudah mafhum bahwa sejarah adalah milik para pemenang, seperti distorsi sejarah yang kita temukan di negeri ini. Ia juga berlaku dalam penulisan sejarah dalam skala internasional. Terlepas dari pada itu, ada banyak hal yang saya dapatkan dari membaca buku ini, di samping ilmu pengetahuan yang tidak populis bahkan berbau teori konspirasi dari buku itu, saya semakin banyak belajar tentang Nazi dan bagaimana mereka menjaga kekuatan gerakan.

Nazi seperti yang telah kita ketahui adalah partai yang memberikan doktrin tentang kekuatan ras aria di atas seluruh ras manusia, karena keyakinan bahwa mereka adalah keturunan resmi dari kelompok manusia dengan peradaban tinggi di atlantis. Doktrin ini dibawa salah satunya oleh madame Blavatsky yang menjadi ibu theosofi yang kemudian menetap di Indonesia, kemudian didorong oleh kelompok persaudaraan rahasia yang mendorong sosok bernama Adolf Hitler menjadi Der Fuhrer di Jerman lewat partai Nazi. Hitler sendiri dipandang sebagai sosok yang superpower, bahkan dianggap setengah dewa, yang layak untuk menjadi pemimpin ataupun Reich ketiga di Jerman.

Saya cukup tertarik dengan bagaimana mereka benar-benar menjaga kerahasiaan gerakan dan doktrin yang ditanamkan dalam dirinya. Berpuluh-puluh tahun ia tetap terjaga, bahkan dalam kondisi terdesak pun mereka memilih mati dari pada harus membocorkan rahasia persaudaraan. Pola seperti inilah yang sepertinya harus dicontoh oleh orang-orang gerakan saat ini. Di mana mereka begitu kuat menjaga apapun yang harus dirahasiakan dari gerakan, dan mempertahankan dengan kuat idealisme ataupun ideologi yang mereka pegang. 

Begitulah sedikit yang ingin saya bagi dari buku yang saya baca hari ini. Bagi saya, ilmu dapat kita ambil dari gerakan manapun, tanpa mengesampingkan rujukan utama. Tinggal kemudian kita pilah mana yang menjadi wawasan, dan mana yang menjadi sudut pandang. Sejarah adalah milik para pemenang. Meskipun begitu, mutiara akan tetap bersinar terang meskipun ia ditenggelamkan dalam lumpur yang paling dalam sekalipun. Kebenaran akan tetap menjadi kebenaran. Biarlah waktu yang menjawab.

Ditemani Ice Cappuccino,
Yogyakarta, 13 Januari 2016

Selasa, 12 Januari 2016

Sebaris Doa

Teruntuk para ustadz-ustadzah, yang tengah berjuang di atas sana. Teruntuk adik-adik yang bertempur habis-habisan di lapangan. Teruntuk saudara se-generasi di manapun engkau bertebaran kini.

Konflik adalah keniscayaan. Ia akan hadir sebagai konsekuensi karunia akal dan pikiran pada manusia. Akan dan pikiran akan melahirkan kreatifitas, kemudian menghadirkan gagasan. Menariknya, gagasan setiap orang bisa jadi berbeda, dan pada proses penyampaian dan penerapan, tentu takkan lepas dari tabiat dan karakter kemanusiaan kita. Kemudian, perbedaan inilah yang dapat memicu konflik.

Wahai saudaraku seiman, mari kita kembali merenung. Mari kita kembali pada tujuan pergerakan kita. Mari kita kembali kepada jalan juang kita. Bahwa kita dipersatukan atas satu idealisme yang sama. Bahwa kita dipersatukan atas rasa cinta yang sama pada Allah, Rasulullah, Al-Qur'an, dan syahid sebagai cita-cita kita tertinggi.

Izinkan diri yang kecil dan lemah ini, untuk melantunkan sebaris doa untukmu para qiyadah, para jundi, saudara seiman sekalian.

Sesungguhnya Engkau tahu
bahwa hati ini telah berpadu
berhimpun dalam naungan cintaMu
bertemu dalam ketaatan
bersatu dalam perjuangan
menegakkan syariat dalam kehidupan

Kuatkanlah ikatannya
kekalkanlah cintanya
tunjukilah jalan-jalannya
terangilah dengan cahaya-Mu
yang tiada pernah padam
Ya Rabbi bimbinglah kami

Lapangkanlah dada kami
dengan karunia iman
dan indahnya tawakal pada-Mu
hidupkan dengan ma'rifat-Mu
matikan dalam syahid di jalan-Mu
Engkaulah pelindung dan pembela

Rabithah, semoga menjadi pengikat hati kita semua. Semoga Allah selalu menuntun kita di jalan kebenaran.

Yogyakarta, 12 Januari 2016

Minggu, 10 Januari 2016

Kota Rindu

Selayaknya kata sederhana,
terdengar biasa, bermakna ganda
Menyimpan segenap harapan, setumpuk asa
Tak kuasa diredam, tak bisa dipendam

Adakah makna kerinduan?
Adakah jawab dari kalian?
Aku masih menunggu
Hari di mana ku tumpahkan rindu

Sebuah kota kecil di utara
Tempat segalanya bermuara
Pertemuan sebuah cahaya
Atas nama cinta

Di sana ada asa
Di sana ku jatuh cinta
Pada suasana sebuah kota

Siang ini pun begitu
Lagi-lagi aku rindu
Pada tempat mula itu
Sebuah kota, bernama Banjarnegara

Yogyakarta, 10 Januari 2016

Jumat, 08 Januari 2016

Sebuah Renungan

Beberapa hari ini berhadapan dengan banyak standar ganda. Di antara orang-orang awam, terdapat banyak kecurigaan dan nuansa hedonis. Di tengah-tengah orang shalih, nyatanya masih terdapat potensi konflik. Begitulah tabiat kemanusiaan. Tanpa menafikan bahwa semakin bertaqwa seorang manusia maka derajatnya semakin tinggi, namun nyatanya ia tetaplah manusia dengan segala tabiat kemanusiaannya. Tak akan mengubahnya menjadi malaikat.

Manusia, seperti yang telah kita ketahui menyimpan dua potensi besar. Dua potensi yang Allah berikan pada kita semua, manusia, tanpa terkecuali. Bisa menjadi buruk, dan juga bisa menjadi baik. Bergantung pada bagaimana kita memilih akhirnya. Kebaikan dan keburukan akan terus bertempur berebut untuk menguasai hati setiap manusia. Kemudian ketika kita menjadi baik apakah potensi buruk itu menghilang? tidak. Potensinya mengecil, mungkin iya, tapi ia tetap ada. Mungkin lebih terkendali. Namun akhirnya, kita akan tetap menjadi manusia, bukan malaikat.

Dari sini saya mengambil pelajaran, bahwa ketundukan kita, pegangan kita, bukanlah pada manusia, tapi pada substansi. Sejatinya, ketundukan kita jelas pada Allah swt. kemudian jalannya adalah dengan melaksanakan setiap perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Di sini kita bicara tentang substansi menjalani hidup. Tuntunannya sudah jelas, Al-Qur'an dan Sunnah. Substansi itulah yang menjadi jalan ketundukan kita, bukan pada figur, bukan pada manusia. Bahkan kecintaan kita pada Nabi Muhammad pun secara substansi dilandasi oleh kecintaan kita pada Allah swt. bukan?

Sekali lagi, manusia akan tetap menjadi manusia, dengan segala potensi baik dan buruknya. Maka kembalilah ada substansi, bukan figuritas.

Diiringi rinai hujan,
Yogyakarta, 8 Januari 2016.

Kamis, 07 Januari 2016

#SaveRonny mencapai (Anti)klimaks

Beberapa hari terakhir mahasiswa kembali digegerkan dengan berita pemecatan status mahasiswa Ketua BEM UNJ 2015, Ronny Setiawan. Dengan alasan pencemaran nama baik terhadap Rektor, Rapat Pimpinan UNJ serta merta mengeluarkan surat pemanggilan untuk orang tua Ronny dan berlanjut dengan Surat Pemecatan. Usut punya usut, ternyata awal mula dari pemecatan Ronny adalah agresifitasnya dalam mengkritisi kampus dan birokrasi provinsi sehingga membuat gerah para petinggi di wilayah tersebut. Sontak, mahasiswa dan masyarakat Indonesia bergemuruh. Bentuk dukungan terhadap Ronny hadir dari seluruh penjuru negeri. Sebagian mengatakan ada penyelewengan demokrasi karena kebebasan berpendapat dicerabut, ada pula yang mengatakan sikap rektor UNJ telah mematikan ruang belajar bagi mahasiswa yang justru bertentangan secara diametral dengan tabiat dan karakter kampus itu sendiri. Pimpinan UNJ terpojok. Akhirnya, satu hari kemudian, islah terjadi antara pihak BEM UNJ dan Pimpinan birokrasi UNJ. SK DO dicabut.

Ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari kejadian yang sempat membuat geger mahasiswa se-Indonesia tersebut. Pertama, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa gerakan mahasiswa masih berpotensi menjadi kekuatan yang besar ketika ia bertemu dalam kepentingan yang sama. Momentum pemecatan Ronny memicu sebagian besar mahasiswa, dari gerakan manapun, untuk menuntut pimpinan UNJ mencabut SK DO tersebut. Bahkan, hastag #SaveRonny sempat menjadi trending topic di twitter. Pernyataan sikap lembaga bermunculan, sampai muncul statement bahwa apabila SK DO tidak segera dicabut, mahasiswa Indonesia akan tumpah ruah di rektorat UNJ. Sinyalemen positif ini menjadi angin segar di tengah konflik horizontal yang kerap kali terjadi di tengah mahasiswa, entah itu hanya sekedar karena perbedaan ideologi, ataupun perbedaan kepentingan lainnya. Kedua, kejadian tersebut membuka mata kita bahwa motif tirani belum sepenuhnya tercerabut dari bumi pertiwi. Sisa-sisa mental orde baru masih hidup di dalam sebagian jiwa para pengambil kebijakan di negeri ini. Sikap antikritik, dan membatasi kebebasan mengemukakan pendapat masih diancam dengan bentuk pencabutan hak dan tindakan sewenang-wenang. Hal ini harus menjadi perhatian bagi dunia pendidikan, terutamanya, agar lebih mawas diri dan memperbaiki situasi agar senantiasa mengedepankan sikap ilmiah dalam menyikapi sesuatu, layaknya mahasiswa yang akan turun aksi pun selalu mengupayakan sikap ilmiah dalam pengambilan kebijakan aksi yang menggunakan data.

Meskipun begitu, saya pribadi menyayangkan akhir dari kasus ini yang antiklimaks. People power dalam bentuk gerakan mahasiswa yang hampir saja memenangkan pertarungan melawan motif tirani itu dikebiri dengan masuknya partai politik dalam penyelesaian masalah. Terlebih dengan hadirnya klaim mediasi, seolah membuat kekuatan gerakan mahasiswa yang sudah hampir mencapai puncaknya lenyap begitu saja, bahkan menjadi kontraproduktif dengan munculnya isu keterkaitan antara Ronny dan partai politik itu. Meskipun telah diklarifikasi oleh BEM UNJ bahwa tidak ada keterkaitan antara BEM UNJ atau Ronny sendiri dengan partai politik yang bersangkutan dalam penyelesaian konflik ini, namun citra terlanjur hadir ke publik. Dampaknya, bola panas kembali ke tangan mahasiswa, atau dalam hal ini terutama BEM UNJ, sehingga justru menjadi bulan-bulanan terkait dugaan afiliasi politik mereka. Akhirnya, beberapa tuntutan memang tercapai, namun sayang seribu sayang, yang hadir bukanlah kemenangan mahasiswa atas tirani, melainkan kekuatan manuver politik elit.

Terlepas dari antiklimaks kasus ini, saya ingin mengajak untuk kembali pada hikmah yang telah saya tulis sebelumnya. Bahwa gerakan mahasiswa masih sangat memungkinkan untuk bersatu dan bangkit kembali. Fakta bahwa motif tirani masih hidup seharusnya menjadi pemicu untuk kesadaran gerakan agar bergerak makin masif dan terstruktur dalam rangka menumbangkan tirani. People power masih memiliki tempat di negeri ini, dan mahasiswa adalah entitas harapan yang menjadi garda terdepan. Tantangan ke depan makin berat, semoga pundak kalian semakin dikuatkan, wahai mahasiswa, wahai pewaris peradaban. Hadirmu telah dinanti untuk menata ulang taman Indonesia. Hadirmu telah dinanti, untuk menghadirkan senyum para orang tua sebelum senja tiba.

Yogyakarta, 7 Januari 2016

Selasa, 05 Januari 2016

Tentang Hujan

Bagi sebagian orang, hujan menjadi satu momen yang dinanti. Kehadirannya memberikan banyak arti, inspirasi, atau imajinasi. Tak sedikit pula yang mencaci. Entah karena menghambat laju aktivitas, atau menurunkan produktivitas. Kembali lagi tentang perspektif.

Pun dengan siang ini, aku terjebak di tengah sebuah warung kopi, di luar hujan lebat disertai angin. Bukan pemandangan yang langka, hal biasa. Namun bagiku, hujan adalah peristiwa yang tak biasa. Selayaknya rahmat yang Allah hadirkan ke dunia, hujan pun menjadi sarana introspeksi dan penggalian inspirasi. Setiap bunyi rintiknya membawa harmoni alam, begitu merdu, lembut, menenangkan. Semerbak wangi tanah yang bertemu dengan hujan, memaksa otak berpikir dua kali untuk tidak rileks. Begitulah tabiat hujan, setidaknya, bagiku.

Hujan memberikan nuansa paling sunyi, menghadirkan gambaran yang begitu jelas tentang bait-bait masa lalu. Hujan dan teman sepermainan, hujan dan kehangatan keluarga, sampai hujan dan parlemen jalanan. Seketika hujan juga menghadirkan gambaran masa depan. Tentang mimpi dan harapan, cita, cinta.

Siang ini masih terjebak di tengah hujan, menantinya reda dan menikmati buai kenyamanan. Dalam kesendirian, aku membatin. Suatu saat, aku akan menikmati hujan, bersamamu.

Yogyakarta, 5 Januari 2016

Minggu, 03 Januari 2016

Monolog

Manusia akan tetap menjadi manusia, dengan segala karakter khasnya. Manusia akan tetap menjadi manusia dengan logikanya. Manusia akan tetap menjadi manusia dengan perasaannya. Logika dan perasaan. Dua hal yang tak bisa lepas dari manusia, di manapun siapapun. Mereka adalah kehendak Yang Kuasa tertanam pada setiap manusia. Tak peduli tua, muda, kaya, miskin, dua hal ini takkan pernah lepas darinya. Logika dan perasaan.

Ada yang bilang bahwa laki-laki tak berperasaan. Ada pula yang mengatakan perempuan tak berlogika. Bagiku sama saja. Tak pandang laki-laki atau perempuan, ia kan memiliki logika dan perasaan. Hanya mungkin kadarnya berbeda. Tak sedikit orang yang tajam berlogika namun pada saat perasaannya tersentuh ia menjadi begitu rapuh. Begitu juga dengan orang yang sangat berperasaan ada kalanya ia bisa berpikir sangat logis di waktu yang lain. Logika dan perasaan, akan selalu ada. Hadir beriringan.

Kembali pada bagaimana mereka dikelola. Kapan ke depankan perasaan, kapan hadirkan logika. Hanya saja, memang tak mudah bicara perasaan. Biasanya akan berkepanjangan, dan akhirnya butuh mencurahkan. Entah bercerita secara lisan, atau ditumpahkan lewat tulisan. Tulisan kadang lebih baik, karena tulisan dapat membebaskan pikiran, dan membiarkan jari menari untuk berceracau itu meringankan.

Begitu pula malam ini. Banyak hal yang ingin ku ceritakan. Lewat sebuah tulisan. Hidupku belum cukup lama, baru 23 tahun, dan entah kehampaan apa yang saat ini sedang menerjang, seperti ada yang hilang. Sesuatu yang hilang sejak lama, yang ia telah terikat takdir dengan diri ini. Seperti kata Letto, Lubang di Hati, atau apalah itu. Tahukah kau ada sesuatu yang hilang? bagaimana rasanya? kosong. Kau hanya akan berpikir bagaimana mendapatkannya kembali, bukan?

Dan tak lama aku merasa menemukan, sesuatu yang telah hilang. Ia terasa begitu dekat, namun cukup pekat untuk terlihat. Ada getar yang menggelegar, ada amuk yang menusuk. "Hey, kau telah menemukannya!", begitu kata sesuatu dalam diri. Benarkah aku telah menemukannya? lalu mengapa ia tak kunjung mendekat? Setelah perjalanan panjang yang begitu melelahkan, mencari untuk menemukan, dan akhirnya ku temukan.

Entah kau adalah sesuatu yang hilang itu atau bukan. Aku hanya perlu sedikit lagi berjuang. Mungkin itu yang kau inginkan bukan?

Sesuatu yang hilang, terikat takdir yang dipertemukan. Tulang rusukku.

Yogyakarta, 3 Januari 2016