Sabtu, 21 Agustus 2021

Menjadi Laki-Laki

 Semakin tua, aku semakin mengerti. Namun di sisi yg lain, semakin dalam aku mempertanyakan.

Mungkin begitulah tabiat usia. Perlahan memberikan jawaban. Pelahan mendewasakan.

Aku sampai pada titik kekaguman yg mendalam pada sosok ayah.

Begitu mendalam.

Sebab kini, dalam kapasitasku sebagai seorang anak, seorang suami, seorang ayah.

Ya, seorang laki-laki.

Bagiku saat ini, menjadi laki-laki mensyaratkan beberapa hal, yang akupun masih harus terus belajar.

Menjadi laki-laki, hatimu harus lebih lapang dari samudra.

Menjadi laki-laki, dirimu harus lebih kuat dari baja.

Menjadi laki-laki, harus tetap tersenyum meski di tengah kepalsuan.

Takdir menjadi laki-laki adalah takdir untuk menjadi kuat

Seberapapun busuknya dunia, takdirmu adalah untuk menelannya dan menikmatinya.

Sebenar apapun kebenaran di tanganmu, takdirmu adalah untuk dipersalahkan.

Terimalah dan hadapilah. Apresiasi bukanlah duniamu.

Duniamu adalah dipersalahkan saat kau benar, dan dipojokkan saat kau salah.

Dan di tengah semua itu, senyum palsumu tidak boleh hilang.

Hidup barangkali memang seperti itu.

Selamat menjadi laki-laki. Selamat mempertanggungjawabkan kehidupan kini dan nanti.

Sabtu, 29 September 2018

Merelakan

Ada sebuah pekerjaan yang ringan diucapkan tapi sulit dilakukan. Merelakan.
Begitulah kira-kira, sebab banyak orang mengaku mudah melupakan, tapi nyatanya, melupakan berbeda dengan merelakan.

Masa lalu adalah sebuah kepastian sejarah, sebab peristiwanya sudah terjadi dan tiada daya dan upaya untuk mengubahnya.
Maka langkah paling sederhana namun realistis adalah dengan menerima. Bahwa ada penggal waktu yang bisa menjadi tidak sesuai dengan yang kita inginkan, atau sebut saja menyakitkan.
Namun bukankah terhadap masa lalu kita hanya bisa menerima? kemudian belajar untuk tak mengulangi.
Menerima, untuk mengilhaminya sebagai sebuah pembelajaran.

Kemudian kini, hiduplah di masa sekarang. Bersama mereka yang nyata ada. Senyata kamu, yang masih bersibuk dengan laptop dan pekerjaan lemburmu. Entah mungkin itu hanya alibimu agar kamu bisa menemaniku berjuang dengan pekerjaan lemburku. Itu urusanmu.

Saksikanlah, aku sudah menerima dan merelakan masa laluku.
Lalu, sisa hariku adalah kamu, masa kini mu, dan perjuangan untuk masa depan kita.

Jogja, 29 September 2018

Sabtu, 21 Juli 2018

KACA JENDELA KERETA

Pada sebuah perjalanan
Satu malam yg sepi
Selepas hujan

Temaram lampu jalanan
Kota yg sunyi
Malam yg menyelimuti
Menenangkan

Aku menatap pada ruang gelap
Pada kaca jendela sebuah kereta
Tentang masa depan
Dan sebuah perjalanan panjang

Bahwa aku pergi
Itu pasti
Untuk sesuatu yg kutinggalkan
Dan menyambut yg kan terjelang

Menyudahi harap
Sebuah perpisahan
Dengan rintik hujan
Perlahan turun, satu dua

Selamat tinggal kenangan
Maaf untuk perasaan yg kutinggalkan
Terima kasih untuk kisah hebat yg pernah kau berikan

Aku telah memutuskan
Dan berpegang pada keyakinan
Atas takdir Tuhan yg telah digariskan

Dan sekarang yg tersisa hanyalah kenangan
Dan di sanalah kamu ada, selalu

Aku, 2018

Sabtu, 10 Februari 2018

Efek Dilan; Nostalgia SMA

Aku memutuskan untuk melanjutkan yang telah terhenti. Barangkali banyak di antara manusia di bumi yang tengah dirundung nostalgi. Dilan adalah pelakunya. Ditulis oleh Pidi Baiq, dan diluncurkan oleh Falcon sebagai film. Tapi, tidak. Aku tidak berminat membedah film itu. Toh, ia karya seni yang baik, dan aku suka. Tetapi, aku mau bicara soal efek samping. Yang barangkali aku merasakannya. Begitu juga mereka, para manusia yang masih hidup di bumi dan habis nonton Dilan, atau baca, atau denger. Baik yang nonton rame-rame, berdua, atau sendiri. Aku misalnya, nonton sendiri.

Kembali ke efek samping. Aku termasuk orang yang kena efek Dilan. Jadi gini. Dilan itu kira-kira menceritakan kisah cinta dari dua anak remaja SMA. Biasa aja sih. Yang jadi menarik itu adalah cara mereka menjalani cintanya. Dan latar suasananya. Singkat kata, bukan Dilan dan Milea yang bikin penonton baper. Atau aku baper ding. Tapi keterwakilan kenangan yang berhasil divisualisasikan dengan baik lewat film itu. Apa yang ada dalam benak ketika nonton film itu pasti bayangan masa SMA. Ngaku deh! Aku sendiri jadi pengen sharing soal bagaimana masa SMA ku. Itu alasanku menulis hari ini. Sebagai bagian dari efek Dilan. Mungkin ga akan detail, sederhana aja. Bisa jadi besok kubuat novel, kalo udah nemu konfliknya. Padahal konflik semua, hahaha...

Yup, SMA buatku adalah masa kedua terindah setelah SMP. Sama-sama indah sih, cuma SMA lebih kompleks. Jangan tanya soal akademik, berantakan deh. Makanya ga mau cerita itu. Tapi ada banyak hal. Yang harus digaris bawahi, aku pastikan aku bukan orang baik-baik. Bahwa setiap orang punya masa lalu, aku juga. Yah, kalo aku mendefinisikan diri, kira-kira aku ini orang brengsek yang lagi belajar tobat. Kenakalan remaja lah, walaupun ga parah banget sih. Aku bukan anak geng motor kayak Dilan,cuma anak band yang kadang bolos, tapi tetep sholat. Rajin pacaran, kalo pas punya pacar. Pacarannya aman dong tapi, ga pernah aneh-aneh. Kalo ga percaya tanya aja mantanku. Di mana kamu sekarang? *tsaaah...

Habis itu...
Ada banyak, lanjutin nanti aja deh. 

Bro, kok tulisannya jadi begini? biarin. Sekali-sekali balik jadi ABG. wkwkwk...

Entah kenapa rindu gemerlap lampu malam Jakarta.
Jogja, 10 Februari 2018

Minggu, 31 Desember 2017

Aku Membuka Pada Penutup

Aku membuka pada penutup. Di penghujung waktu rentang tahun ini. Detik-detik menuju digit tahun yang baru. Aku membuka, untuk semua peristiwa yang telah lalu. Menengok kembali ke belakang. Tentang perjalanan. Lahir dan batin. Rasa dan logika. Merangkai kembali mozaik cerita setahun ke belakang, dan mencocokkan dengan tujuan. Visi. Sudahkah ia sejalan, atau aku hanya sekedar melangkah tanpa fokus ke tujuan.

Bagi sebagian besar orang, sikap ini bisa disebut dengan refleksi. Mengingat kembali yang telah lalu untuk mempersiapkan diri, ancang-ancang untuk berlari di momen selanjutnya. Aku menggunakan momen akhir tahun ini, penutup waktu, sekedar untuk refleksi ringan. Terlebih setelah melewati aktivitas hari ini. Aku bersama mereka, mencoba membaca setahun ke belakang dan menyongsong yang akan datang.

Awali dengan syukur. Bahwa telah banyak nikmat Allah yang dianugerahkan pada kita setahun ke belakang. Terlalu banyak, hingga kita takkan pernah sanggup untuk menghitungnya. Lihatlah betapa banyak capaian yang Allah telah persilakan pada kita untuk memeluknya. Hingga beragam kebetulan tak terduga yang Allah hadirkan sebagai cara menghindarkan diri kita dari bencana. Allah pasti memberikan yang terbaik.

Selanjutnya, bagiku pribadi, 2017 adalah tahun yang luar biasa. Ada banyak kegagalan yang aku alami, salah satunya adalah kegagalanku menyelesaikan kuliah, Drop Out. Entah bagi sebagian orang mungkin ini bisa menjadi kiamat kecil. Apakah ringan juga bagiku? tentu tidak. Berat. Tentulah kurasakan jua, terlebih setelah memutuskan berusaha selama tujuh tahun. Namun apa daya, salahku lah tak mampu mengalahkan diri sendiri kala itu. Pun dengan kegagalan lainnya.

Menyongsong 2018, Allah telah membuka pintunya sedikit demi sedikit. Kegagalan yang sebelumnya kudapatkan telah Allah ganti dengan yang lebih baik. Jauh lebih baik. Kesadaran pikir, keteguhan berprinsip, dan kesempatan untuk senantiasa belajar. Di manapun, tanpa harus terpenjara dalam ruang bernama kelas.

Esok hari, telah menjadi hari baru. Dengan semangat baru, perjuangan baru. Aku sudah memutuskan untuk membuka pada momen penutup ini. Untuk menuliskan sejarah, menanamkan spirit kebangkitan. Ah, aku sudah terlalu sering bicara tentang kebangkitan. Dan bagiku sedikit naif karena faktor diriku sendiri yang kerap kalah oleh diri sendiri. Maka, 2018 akan menjadi momen penebusan, perbaikan, dan optimalisasi potensi. Memastikan diri menemukan track yang riil sebagai prospek jangka panjang. Tentu saja aku akan stay dengan apa yang tengah kujalani sekarang. Kemudian di 2018, aku akan memastikan itu. 2018, tentang pelengkapan dan peneguhan jalan.

Bukit Permoni, 31 Desember 2017

Minggu, 26 November 2017

Sampai detik ini

Sampai detik ini. Aku masih setia mengamatimu dari kejauhan. Sebab berjarak adalah pilihan. Dan aku sadar. Aku sangat memahami bagaimana beratnya konsekuensi yang harus ku tanggung. Saat aku harus membunuh setiap detik kerinduan yang muncul. Bukankah itu menyiksa? Mungkin tidak bagimu. Aku tak peduli, biarlah aku saja yang menanggungnya. Termasuk menikmatinya, mencintai dalam kediaman. Tanpa kata. Tanpa suara.

Sampai detik ini. Aku masih menyimpan kagum yang begitu mendalam. Melihat tindak tandukmu yang mempesona. Kamu cantik, tapi itu bukanlah segalanya. Akhlakmu menyempurnakannya. Bagaimana kamu berinteraksi dengan yang lain, termasuk denganku. Meski kamu tidak sadar, ada degup yang begitu hebat dalam setiap kata dalam percakapan kita. Ada getar yang begitu terasa dalam setiap detik kebersamaan kita.

Biarlah waktu yang menjawab. Bagaimana takdir akan membawa perjalanan kita. Tentang aku, kamu, dan harap yang tengah kupendam begitu mendalam.

Jogja, 26 November 2017

Nb: Terinspirasi dari lagu Dewi Lestari - Malaikat Juga Tahu, dan Dewa 19 - Risalah Hati

Jumat, 01 September 2017

Sabar

Bukan sebab kuat kemudian aku bertahan.
Bukan sebab tangguh kemudian aku tiada mengeluh.
Melainkan sebuah keyakinan.
Yang entah datang dari mana
yakin saja.
Kemudian aku memilih berselancar di tengah gelombang.
Menikmati setiap detik yang menikam.
Tetapi..

Sabar..

Jogja, 31 Agustus 2017