Sabtu, 29 September 2018

Merelakan

Ada sebuah pekerjaan yang ringan diucapkan tapi sulit dilakukan. Merelakan.
Begitulah kira-kira, sebab banyak orang mengaku mudah melupakan, tapi nyatanya, melupakan berbeda dengan merelakan.

Masa lalu adalah sebuah kepastian sejarah, sebab peristiwanya sudah terjadi dan tiada daya dan upaya untuk mengubahnya.
Maka langkah paling sederhana namun realistis adalah dengan menerima. Bahwa ada penggal waktu yang bisa menjadi tidak sesuai dengan yang kita inginkan, atau sebut saja menyakitkan.
Namun bukankah terhadap masa lalu kita hanya bisa menerima? kemudian belajar untuk tak mengulangi.
Menerima, untuk mengilhaminya sebagai sebuah pembelajaran.

Kemudian kini, hiduplah di masa sekarang. Bersama mereka yang nyata ada. Senyata kamu, yang masih bersibuk dengan laptop dan pekerjaan lemburmu. Entah mungkin itu hanya alibimu agar kamu bisa menemaniku berjuang dengan pekerjaan lemburku. Itu urusanmu.

Saksikanlah, aku sudah menerima dan merelakan masa laluku.
Lalu, sisa hariku adalah kamu, masa kini mu, dan perjuangan untuk masa depan kita.

Jogja, 29 September 2018

Sabtu, 21 Juli 2018

KACA JENDELA KERETA

Pada sebuah perjalanan
Satu malam yg sepi
Selepas hujan

Temaram lampu jalanan
Kota yg sunyi
Malam yg menyelimuti
Menenangkan

Aku menatap pada ruang gelap
Pada kaca jendela sebuah kereta
Tentang masa depan
Dan sebuah perjalanan panjang

Bahwa aku pergi
Itu pasti
Untuk sesuatu yg kutinggalkan
Dan menyambut yg kan terjelang

Menyudahi harap
Sebuah perpisahan
Dengan rintik hujan
Perlahan turun, satu dua

Selamat tinggal kenangan
Maaf untuk perasaan yg kutinggalkan
Terima kasih untuk kisah hebat yg pernah kau berikan

Aku telah memutuskan
Dan berpegang pada keyakinan
Atas takdir Tuhan yg telah digariskan

Dan sekarang yg tersisa hanyalah kenangan
Dan di sanalah kamu ada, selalu

Aku, 2018

Sabtu, 10 Februari 2018

Efek Dilan; Nostalgia SMA

Aku memutuskan untuk melanjutkan yang telah terhenti. Barangkali banyak di antara manusia di bumi yang tengah dirundung nostalgi. Dilan adalah pelakunya. Ditulis oleh Pidi Baiq, dan diluncurkan oleh Falcon sebagai film. Tapi, tidak. Aku tidak berminat membedah film itu. Toh, ia karya seni yang baik, dan aku suka. Tetapi, aku mau bicara soal efek samping. Yang barangkali aku merasakannya. Begitu juga mereka, para manusia yang masih hidup di bumi dan habis nonton Dilan, atau baca, atau denger. Baik yang nonton rame-rame, berdua, atau sendiri. Aku misalnya, nonton sendiri.

Kembali ke efek samping. Aku termasuk orang yang kena efek Dilan. Jadi gini. Dilan itu kira-kira menceritakan kisah cinta dari dua anak remaja SMA. Biasa aja sih. Yang jadi menarik itu adalah cara mereka menjalani cintanya. Dan latar suasananya. Singkat kata, bukan Dilan dan Milea yang bikin penonton baper. Atau aku baper ding. Tapi keterwakilan kenangan yang berhasil divisualisasikan dengan baik lewat film itu. Apa yang ada dalam benak ketika nonton film itu pasti bayangan masa SMA. Ngaku deh! Aku sendiri jadi pengen sharing soal bagaimana masa SMA ku. Itu alasanku menulis hari ini. Sebagai bagian dari efek Dilan. Mungkin ga akan detail, sederhana aja. Bisa jadi besok kubuat novel, kalo udah nemu konfliknya. Padahal konflik semua, hahaha...

Yup, SMA buatku adalah masa kedua terindah setelah SMP. Sama-sama indah sih, cuma SMA lebih kompleks. Jangan tanya soal akademik, berantakan deh. Makanya ga mau cerita itu. Tapi ada banyak hal. Yang harus digaris bawahi, aku pastikan aku bukan orang baik-baik. Bahwa setiap orang punya masa lalu, aku juga. Yah, kalo aku mendefinisikan diri, kira-kira aku ini orang brengsek yang lagi belajar tobat. Kenakalan remaja lah, walaupun ga parah banget sih. Aku bukan anak geng motor kayak Dilan,cuma anak band yang kadang bolos, tapi tetep sholat. Rajin pacaran, kalo pas punya pacar. Pacarannya aman dong tapi, ga pernah aneh-aneh. Kalo ga percaya tanya aja mantanku. Di mana kamu sekarang? *tsaaah...

Habis itu...
Ada banyak, lanjutin nanti aja deh. 

Bro, kok tulisannya jadi begini? biarin. Sekali-sekali balik jadi ABG. wkwkwk...

Entah kenapa rindu gemerlap lampu malam Jakarta.
Jogja, 10 Februari 2018