Selasa, 30 April 2013

Saatnya Pemuda Bicara!


Sejak dulu hingga sekarang, kehidupan manusia tidak pernah terlepas dari dunia politik. Politik, dalam level apapun itu, pasti memberikan dampak pada nuansa kehidupan bermasyarakat dan hubungan antar individu. Politik pada level pemerintahan, pasti akan mengeluarkan kebijakan yang imbasnya akan mengenai masyarakat banyak, dan itu mau tidak mau, tidak bisa tidak, akan dirasakan dampaknya oleh masyarakat. Begitupun politik di level kampus, yang walaupun belum se”horor” politik di level praktis, akan tetapi akan menimbulkan dampak yang tidak sederhana juga untuk para pelakunya. Dengan kenyataan seperti itu, seharusnya setiap manusia yang terlibat dalam konstelasi kehidupan bermasyarakat menaruh kepedulian yang besar terhadap proses politik yang terjadi di negara ini. Kepedulian itu pula tidak berbasis gender atapun usia. Setiap individu seharusnya memiliki kepedulian yang tinggi pada salah satu aspek kehidupan ini. Tapi, memang pada kenyataannya masih sangatlah jauh dari idealita yang kita harapkan. Masyarakat Indonesia, sebagian besar masih bersikap apolitik dan memiliki paradigma yang melenceng dalam mendefinisikan politik. Gelombang apatisme dan skeptisisme terhadap perpolitikan inilah yang pada akhirnya membuat segolongan politikus yang memiliki orientasi pribadi dan memandang politik sebagai lahan basah bagi pertumbuhan kekayaaannya memanfaatkan ruang itu untuk melandingkan kepentingannya. Dalam perjalanannya, ada segolongan orang yagn sebenarnya memiliki ketajaman intuisi dan menyadari bahwa terjadi sesuatu yang salah dalam konstelasi politik yang ada. Bahwa politik adalah salah satu aspek yang harus dikawal karena akan berpengaruh pada kehidupan orang banyak, golongan itu adalah pemuda. Permasalahannya, dewasa ini, tidak sedikit golongan tua yang memandang bahwa pemuda masih terlalu hijau untuk berbicara tentang politik. Pemuda masih dianggap sebagai anak kemarin sore yang tidak tahu apa-apa tentang konstelasi kehidupan. Pada akhirnya, kita akan menemukan dua variabel permasalahan dari sini, yang pertama adalah permasalahan paradigma negatif sebagian besar masyarakat Indonesia yang berdampak pada menghegemoninya apatisme dan ketidakpercayaan golongan tua pada para pemuda untuk berbicara tentang politik dan berperan di dalamnya, yang dampaknya ruang gerak pemuda untuk mengawal kebijakan-kebijakan pemerintah semakin terbatasi. Tentunya, permasalahan seperti inilah yang harus kita cari akar permasalahan dan solusinya.
Sebelum kita berbicara lebih jauh tentang dua permasalahan di atas, kita harus menyamakan frekuensi terlebih dahulu terkait bagaimana kita mendefinisikan politik. Pendefinisian politik itu sendiri akan bergantung pada karakter pemikir dan masyarakatnya. Menurut Joyce Mitchel (1969), dalam Miriam Budiarjo (1978), politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan umum yang ditujukan kepada seluruh masyarakat. Sedang menurut Karl W. Deutsch (1970), politik adalah pengambilan keputusan melalui sarana publik. Dari definisi tersebut di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa politik bukanlah tujuan, melainkan alat untuk mencapai kebijakan yang kemudian bertujuan untuk menyejahterakan rakyat. Kemudian, dari unsur-unsur yang terdapat dari definisi politik tersebut di atas, maka harus ada unsur kehati-hatian dalam pengambilan kebijakan karena dampaknya akan dirasakan oleh orang banyak.
Politik, sebagaimana sudah didefinisikan di atas, sesungguhnya adalah sesuatu yang mulia, yang keberadaannya tidak bisa dibiarkan begitu saja tanpa ada pengawalan dalam proses perjalanannya. Namun, pada kenyataannya, mengapa masih banyak yang memilih bersikap apatis terhadap politik? Ternyata, hal ini berkembang dari pemahaman politik yang kurang atau mungkin ada segolongan orang yang kemudian berusaha memunculkan politik dalam wajah yang mengerikan, suram, dan penuh dengan kemunafikan. Cobalah bertanya pada sebagian masyarakat di sekitar kita tentang politik, maka hal-hal pertama yang akan terlintas di pikiran mereka adalah perebutan kekuasaan, kampanye hitam (demarketisasi), korupsi, dan lain sebagainya. Artinya, perncerdasan sosial-politik di masyarakat cenderung kurang bahkan apa yang ditampilkan oleh beberapa media dewasa ini cenderung tidak mencerdaskan. Kesan bahwa politik adalah sesuatu yang mengerikan itulah yang pada akhirnya memunculkan sikap-sikap apatis dan takut untuk berkecimpung di dalamnya, untuk mengkritisi perjalanannya, dan menyampaikan aspirasi pada sang penguasa.
Secercah harapan pun muncul dari kubangan apatisme yang merebak di masyarakat. Ternyata, ada segolongan orang yang disebut pemuda, yang kemudian menunjukkan sisi intelektualnya dengan memberikan komentar, mengkritisi jalannya pemerintahan di era sekarang ini, dan otomatis pembicaraan yang muncul adalah soal politik. Akan tetapi, permasalahan baru pun muncul: golongan tua menganggap pemuda masih terlalu labil dan terlalu hijau untuk berbicara tentang politik. Padahal, pemuda adalah golongan orang yang merupakan aset berharga yang dimiliki oleh suatu bangsa. Golongan tua yang ada saat ini cenderung sudah termakan doktrinasi dari banyak pihak yang akhirnya berujung pada kehidupan yang cenderung bersifat pragmatis. Pemuda adalah segolongan manusia yang memiliki kelebihan dibandingkan dengan golongan tua. Pemuda, memiliki semangat untuk bersikap kritis. Biasanya, pemuda memiliki idealisme yang kuat terhadap suatu hal, contohnya idealisme pada kondisi suatu negara. Sehingga ketika jalannya pemerintahan dirasa tidak sesuai dengan kondisi ideal suatu negara, maka kencenderungan seorang pemuda adalah mengkritisi dan menyampaikan aspirasinya pada penguasa. Inilah yang kemudian juga dimiliki oleh pemuda, yaitu keberanian. Dengan dukungan idealisme yang kuat yang dimilikinya, pemuda akan mendapatkan energi lebih yang akhirnya termanifestasikan dalam bentuk keberanian, keberanian untuk menyuarakan kebenaran. Selain itu, pemuda adalah generasi penerus, agen perubahan yang akan menggantikan para pemimpin di negeri ini saat ini. Pemuda lah yang akan memiliki peranan lebih dan kemudian akan naik untuk menata taman Indonesia ini. Konsekuensinya, pemuda harus mendapatkan pendidikan yang memadai terkait politik dan mampu membaca, mencermati, dan mengkritisi arus politik yang terjadi, sehingga ketika yang muda yang memimpin, mereka memiliki pandangan yang cukup dan kreativitas yang luas dalam mengelola negara.
Pada akhirnya, jelaslah sudah bahwa seharusnya, politik bukanlah satu hal yang tabu untuk dibicarakan oleh pemuda. Dengan segala potensi yang dimiliki oleh pemuda, dan visi bahwa politik adalah alat untuk mensejahterakan rakyat dan bukan menjadi tujuan untuk sekedar mencapai tampuk kekuasaan dan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi, maka sudah waktunya bagi pemuda untuk kembali menatap ke depan dan mempersiapkan diri semaksimal mungkin untuk menggantikan para pemimpin Indonesia saat ini. Pergantian kepemimpinan adalah keniscayaan, dan konsekuensi dari kefanaan adalah regenerasi, karena tidak ada satu hal pun yang bersifat abadi. Maka sudah sudah jelas, sekali lagi, bahwa yang akan menjadi pemimpin di masa depan adalah pemuda. Sudah waktunya bagi pemuda untuk menjadikan politik sebagai bagian dari kehidupan mereka. Pencerdasan sosial-politik adalah agenda besar yang harus dilakukan oleh pemuda saat ini, terlebih dalam menghadapi momentum besar di tahun 2014. Pemuda harus mampu melihat, mencermati, dan memberi penilaian yang akurat tentang orang-orang yang akan terlibat di dalam panggung politik Indonesia kelak, sebelum akhirnya pemuda itu sendirilah yang akan turun. Pada akhirnya, akan tiba waktunya bagi para pemuda untuk berkata pada golongan tua, “izinkanlah kami terlibat, izinkanlah kami berkontribusi untuk menata taman Indonesia, dan akan kami buat kalian tersenyum sebelum senja tiba.”

Referensi:
Sudarsono, Amin, Ijtihad Membangun Basis Gerakan (Jakarta: Muda Cendekia, 2010)