Jumat, 21 Desember 2012

Takdir itu pun memilihku..

Dan akhirnya sejarah akan melahirkan tokoh-tokoh dalam masing-masing periodisasinya.
Pemilwa di kampus ungu baru saja berakhir, dan (seharusnya) hari ini adalah penetapan dari orang yang kemudian terpilih sebagai pengayom bagi kampus budaya ini.

Kebanggaan...ya..
Kebahagiaan..ya..
Semuanya bercampur, menyambut kemenangan yang sudah lama dinantikan.
Di saat semuanya merasa termarginalkan. Setelah semuanya merasakan kegelisahan yang sama tentang masa depan kampus yang sangat kami cintai ini, akhirnya malam itu menjawab semuanya, 19 Desember 2012, nyaris tengah malam.
Dengan berbagai pertimbangan akhirnya aku yang harus menceburkan diri ke dalam lumpur itu.
Untuk berjibaku dengan para "korban" secara langsung, bergesekan, berdampingan langsung dengan mereka.
Aku meyakini bahwa biar bagaimana pun aku tetap tergabung dalam satu tim yang sama2 menginginkan kebaikan untuk kampus ungu. Ya, aku tak sendiri.
Uraian air mata itu menjadi saksi atas keputusan yang telah diambil oleh tim, untuk kemudian memajukanku (lagi) untuk bertempur di pemilwa. Masjid itu menjadi saksi.

Berat..
Itu yang ku rasa, seperti gunung2 dan bumi yang menolak untuk menggenggam satu hal yang ku sebut dengan amanah. Ya, amanah. Menjadi perwajahan bukanlah satu hal yang simple. Aku pernah merasakannya sehingga aku memahami betul apa yang nantinya akan ku hadapi. Konstelasi apa yang akan ku hadapi. Tapi kami bertahan.

Dan akhirnya pertempuran itu pun dimulai.
Pertempuran yang bahkan tak semuanya menginginkannya. Bagiku, ada yang jauh lebih indah ketimbang bertempur sebagai dua kubu. Sinergitas, menghentikan pertikaian yang sepertinya memang sudah cukup lama terjadi dan entah mengapa kemudian dianggap menjadi pewarisan dosa. Tapi apalah daya, mereka tak mau mengerti.
Semangat juang itu ku rasakan lewat dukungan dari sahabat-sahabatku, bagaimana mereka menyiapkan berbagai atribut ketika aku terkapar tak berdaya saat akhirnya tubuh ini tak mampu menjadi munafik lagi. Bagaimana kemudian masing2 individu menyadari apa yang menjadi tugas mereka dan apa yang menjadi tujuan besar yang kami usung, gagasan besar. Saat itulah semangatku kembali pulih..malam sebelum debat antar calon.

Perdebatan..
Dua calon sudah berada dalam satu arena untuk menyampaikan apa yang kemudian menjadi visi yang diusung untuk kampus ini ke depan. Aku vs rival politikku, yang bernama armada. Ku pikir kedudukan hampir berimbang, tak ada satu pun dari kami yang mempunyai status sebagai ketua ormawa, sehingga akhirnya kekuatan retorika lah yang akan menjadi penentu kemenangan hati atas banyak banyak orang.
Aku pasrah. Aku merasa bukanlah orang yang mempunyai retorika sebagus bung karno atau pun bung tomo, tapi aku memiliki apa yang diwariskan mereka, semangat juang. Memperjuangkan kepahaman, bukan memperjuangkan doktrin-doktrin palsu yang hanya didasarkan pada sentimen gerakan.

Dan akhirnya hari penentuan tiba, saat semua suara sudah terkumpul. Berharap tak mengulangi apa yang terjadi tahun lalu, saat ku berada di posisi yang nyaris sama dan harus menerima kenyataan untuk berada di bagian tawa dan cemooh semua orang.
Aku adalah orang yang tak mau putus asa. Jika memang nantinya harus kalah, lebih baik mundur dan dilupakan kemudian kembali pada kolam yang lebih besar. Tapi sepertinya takdir berkata lain. Suara demi suara dihitung dan di luar dugaan aku memenangkan empat TPS dan hanya kalah di satu TPS yang menjadi basis massa mereka, itu pun kalah tipis saja, 3 suara.

Menang..
Setelah berjuang selama 3 tahun, akumulasi dari perjuangan yang tak kenal henti, dengan darah dan air mata akhirnya pkm lantai 2 menggema dengan tangis bahagia dari tim yang telah memperjuangkan kemenangan ini sejak lama. Yang sudah mendambakan kemenangan atas keadilan dan kebenaran, bukan menang untuk menyingkirkan yang lain. Aku, terpilih untuk menjadi ketua bem fbs 2013...
yang jelas ini bukanlah kemenangan pribadi. Ini adalah kemenangan tim, karena setiap orang melaksanakan fungsi dan lingkar pengaruhnya dengan luar biasa. Dan akhirnya derajat kepantasan itu kita raih, dan ujian selanjutnya siap menjelang..

Sejarah akhirnya berulang..pada 2 generasi berbeda..


Indah pada waktunya,
LIMUNY LOUNGE, 16.41

Kamis, 06 Desember 2012

Dari Sudut ini Aku Memandang

Kembali lagi berhadapan dengan layar ini.
Tempat ku tumpahkan semua rasa yang membuncah dan merengek-rengek untuk dituangkan ke dalam tulisan sederhana di lembaran ini.
Yah, tulisan sederhana. Yang aku berharap dari tulisan-tulisan itu bisa memberikan dampak positif untuk lingkungan, dan membiarkan apa yang pernah ku alami menjadi terkenang.
Aku memulai menulis seperti ini ketika terinspirasi dari diary seorang aktivis di masa lalu yang kemudian menjadi terkenang, bahkan setelah puluhan tahun kehidupannya. Soe Hok Gie.
Diary yang dia tulis bukan sekedar diary yang berisikan catatan galau dari seorang mahasiswa yang menapaki jalan dengan identitas baru, tapi dia menuliskan tentang realitas sosial yang kala itu dihadapinya.
Dia adalah seorang pemberontak, itu iya. Tapi dia adalah seorang yang berani meyuarakan apa yang menjadi idealismenya. Itulah yang kemudian menjadi inspirasi bagiku ketika akhirnya aku pun harus menjalani kehidupan yang (nyaris) sama dengannya. Sebagai mahasiswa, yang mungkin menyandang gelar aktivis yang dewasa ini justru dipandang rendah oleh sebagian besar orang. Ya, terlepas dari perbedaan ideologi antara aku dan soe hok gie, tapi dia cukup menginspirasi.

Cukup, bukan tentang soe hok gie yang ingin ku tuliskan hari ini.
Aku hanya ingin mengungkapkan sesuatu tentang kampusku. Tentang situasi, yang kian hari makin menggelikan. Sekarang sudah bulan desember dan semarak pergantian pemimpin di lembaga intra kampus atau yang biasa kami sebut dengan ormawa makin menarik perhatian mahasiswa umum dengan maraknya pamflet dan spanduk berisikan pasangan mahasiswa yang mencalonkan diri. Perang propaganda pun makin menarik untuk diperhatikan, dari mulai yel-yel ala mahasiswa yang berbau psy war, yah, yel-yel yang tentu saja bermuatan politis. Aku bukan orang yang anti pemilwa, bahkan aku sempat terlibat langsung tahun lalu, sebagai orang yang berjuang untuk sebuah idealisme di percaturan politik kampus di fakultasku. Sayang, belum beruntung. Bagiku pemilwa bukanlah sekedar permainan yang diselenggarakan oleh Dewan Perwakilan Mahasiswa yang kemudian membentuk Komisi Pemilihan Umum, tapi pemilwa adalah salah satu bentuk pembelajaran kita untuk hidup dalam dunia yang menggunakan sistem demokrasi sebagai sistem pemerintahannya. Pemilwa akan membelajarkan kita tentang pentingnya memilih pemimpin yang tepat, karena pemimpin yang terpilih akan benar-benar memiliki kekuasaan yang (nyaris) absolut untuk menentukan arah gerak keormawaan ke depan. Dari tahun ke tahun, wacana yang dibawa nyaris selalu sama, tentang multikulturalisme (entah pada akhirnya bisa diterapkan dengan sempurna atau tidak) dan perbedaan ideologi. Pikiranku selalu berbisik bahwa perbedaan adalah satu keniscayaan ketika kita terlahir di dunia ini, bahkan kita bisa melihat perbedaan dari hal yang paling kecil sekalipun, perbedaan wajah.
Dan multikulturalisme yang aku mengerti adalah satu paham yang mennghargai keberbedaan itu, bukan kemudian memaksakan semuanya untuk menjadi sama. Dengan begitu, ketika sudah mengakui bahwa manusia di kampus itu multikultur, seharusnya semuanya dapat diakomodir. Toleransi.
Tapi aku tidak memandang seperti itu yang terjadi di kampusku, kampus ungu.
Masih ada satu entitas yang keberadaannya nyaris tidak dianggap, bahkan bisa dikatakan sudah menjadi satu entitas yang termarginalkan di fakultas. Padahal entitas itu sudah berusaha untuk menjalin komunikasi, mencoba untuk berkontribusi, dan mencoba untuk selalu menjadi yang pertama pergaulan. Tapi entah mengapa, konsep multikultural yang diusung penguasa di kampus ungu ini seakan tidak dirasakan oelh entitas itu, entitas yang aku tergabung di dalamnya. Ku pikir ini bukanlah sekedar perbedaan ideologi, ini lebih kepada sentimen dan prasangka yang selalu dituduhkan kepada entitas itu. Selalu dianggap membawa kepentingan yang berbau politis, padahal secara tidak sadar yang mereka lakukan juga adalah kepentingan dan itu juga politis. Sepertinya kita memang masih harus belajar banyak tentang definisi politik atau kepentingan politis. Bagiku politik adalah jalan, bukan tujuan. Kekuasaan bukanlah tujuan, itu adalah jalan. Esensi dari politik adalah usaha untuk memberikan manfaat lebih untuk orang-orang yang tercover oleh kekuasaan politik itu, intinya lebih pada pensejahteraan. Itulah yang membedakan politik yang kami percayai dibandingkan dengan konsep politik barat yang menjadikan kekuasaan sebagai tujuan, jika begitu maka yang terjadi adalah hukum rimba, yang kuatlah yang akan menang dan kemudian menjadi rezim yang sempat dialami oleh Mesir pada pemerintahan Husni Mubarak.
Dan begitulah yang terjadi tentang politik kampus di fakultas ini, pertarungan antara dua entitas besar yang mungkin orang lain akan memandang ini pertarungan ideologi. Permasalahannya adalah sejauh yang ku perhatikan sampai saat ini, sebagian besar orang yang mengaku bertentangan dengan entitas yang ku pegang saat ini adalah orang-orang yang taklid dan hanya mengikuti apa yang dikatan oleh senior-seniornya saja, mereka hanya orang yang kemudian menelan mentah-mentah doktrin yang diberikan pada mereka tanpa mencoba untuk menilai dan memberikan penilaian yang lebih objektif tentang entitas ini.
Miris, memang. Disaat entitas ini mencoba untuk memberikan kebermanfaatan dan berbaur dengan entitas yang dikatakan sebagian besar orang bertentangan, justru mendapatkan penolakan dan kecurigaan yang tak ada habisnya.
Mungkin memang membutuhkan jalan pendekatan yang berbeda.

Begitulah, tentang kampusku, tentang dinamikanya, dan tentang cerita di dalamnya. Pendaftaran calon pemimpin fakultas memang sudah dimulai sejak senin lalu, tapi baru ditutup jumat besok. Otomatis, nuansa khas pemilwa yang membawa perang propaganda belum dimulai dengan keras. Mudah-mudahan bisa menjadi pembelajaran untuk berpolitik bagi semua pihak yang terlibat, pada esensinya semuanya adalah bersaudara, dan sama-sama memiliki kewajiban untuk saling menasihati dalam kebaikan, perkara menjadi rival, itu hanya pada ranah politik saja, karena perbedaan ideologi adalah satu keniscayaan.

Mungkin dalam waktu dekat aku akan menulis kembali tentang hal ini, tentang perkembangan terakhir dari situasi pemilwa yang biasanya mulai memanas menjelang hari H pemilihan..

Di luar mulai gerimis.
LIMUNY LOUNGE, 6 Desember 2012 11.03 am