Sejak dulu hingga
sekarang, kehidupan manusia tidak pernah terlepas dari dunia politik. Politik,
dalam level apapun itu, pasti memberikan dampak pada nuansa kehidupan
bermasyarakat dan hubungan antar individu. Politik pada level pemerintahan,
pasti akan mengeluarkan kebijakan yang imbasnya akan mengenai masyarakat
banyak, dan itu mau tidak mau, tidak bisa tidak, akan dirasakan dampaknya oleh
masyarakat. Begitupun politik di level kampus, yang walaupun belum se”horor”
politik di level praktis, akan tetapi akan menimbulkan dampak yang tidak
sederhana juga untuk para pelakunya. Dengan kenyataan seperti itu, seharusnya
setiap manusia yang terlibat dalam konstelasi kehidupan bermasyarakat menaruh
kepedulian yang besar terhadap proses politik yang terjadi di negara ini.
Kepedulian itu pula tidak berbasis gender atapun usia. Setiap individu
seharusnya memiliki kepedulian yang tinggi pada salah satu aspek kehidupan ini.
Tapi, memang pada kenyataannya masih sangatlah jauh dari idealita yang kita
harapkan. Masyarakat Indonesia, sebagian besar masih bersikap apolitik dan
memiliki paradigma yang melenceng dalam mendefinisikan politik. Gelombang
apatisme dan skeptisisme terhadap perpolitikan inilah yang pada akhirnya
membuat segolongan politikus yang memiliki orientasi pribadi dan memandang
politik sebagai lahan basah bagi pertumbuhan kekayaaannya memanfaatkan ruang
itu untuk melandingkan
kepentingannya. Dalam perjalanannya, ada segolongan orang yagn sebenarnya
memiliki ketajaman intuisi dan menyadari bahwa terjadi sesuatu yang salah dalam
konstelasi politik yang ada. Bahwa politik adalah salah satu aspek yang harus
dikawal karena akan berpengaruh pada kehidupan orang banyak, golongan itu
adalah pemuda. Permasalahannya, dewasa ini, tidak sedikit golongan tua yang
memandang bahwa pemuda masih terlalu hijau untuk berbicara tentang politik.
Pemuda masih dianggap sebagai anak kemarin sore yang tidak tahu apa-apa tentang
konstelasi kehidupan. Pada akhirnya, kita akan menemukan dua variabel
permasalahan dari sini, yang pertama adalah permasalahan paradigma negatif
sebagian besar masyarakat Indonesia yang berdampak pada menghegemoninya
apatisme dan ketidakpercayaan golongan tua pada para pemuda untuk berbicara
tentang politik dan berperan di dalamnya, yang dampaknya ruang gerak pemuda
untuk mengawal kebijakan-kebijakan pemerintah semakin terbatasi. Tentunya,
permasalahan seperti inilah yang harus kita cari akar permasalahan dan
solusinya.
Sebelum kita berbicara
lebih jauh tentang dua permasalahan di atas, kita harus menyamakan frekuensi
terlebih dahulu terkait bagaimana kita mendefinisikan politik. Pendefinisian
politik itu sendiri akan bergantung pada karakter pemikir dan masyarakatnya.
Menurut Joyce Mitchel (1969), dalam Miriam Budiarjo (1978), politik adalah
pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan umum yang ditujukan
kepada seluruh masyarakat. Sedang menurut Karl W. Deutsch (1970), politik
adalah pengambilan keputusan melalui sarana publik. Dari definisi tersebut di
atas, kita bisa menyimpulkan bahwa politik bukanlah tujuan, melainkan alat
untuk mencapai kebijakan yang kemudian bertujuan untuk menyejahterakan rakyat.
Kemudian, dari unsur-unsur yang terdapat dari definisi politik tersebut di
atas, maka harus ada unsur kehati-hatian dalam pengambilan kebijakan karena
dampaknya akan dirasakan oleh orang banyak.
Politik, sebagaimana
sudah didefinisikan di atas, sesungguhnya adalah sesuatu yang mulia, yang
keberadaannya tidak bisa dibiarkan begitu saja tanpa ada pengawalan dalam
proses perjalanannya. Namun, pada kenyataannya, mengapa masih banyak yang
memilih bersikap apatis terhadap politik? Ternyata, hal ini berkembang dari
pemahaman politik yang kurang atau mungkin ada segolongan orang yang kemudian
berusaha memunculkan politik dalam wajah yang mengerikan, suram, dan penuh
dengan kemunafikan. Cobalah bertanya pada sebagian masyarakat di sekitar kita
tentang politik, maka hal-hal pertama yang akan terlintas di pikiran mereka
adalah perebutan kekuasaan, kampanye hitam (demarketisasi), korupsi, dan lain
sebagainya. Artinya, perncerdasan sosial-politik di masyarakat cenderung kurang
bahkan apa yang ditampilkan oleh beberapa media dewasa ini cenderung tidak
mencerdaskan. Kesan bahwa politik adalah sesuatu yang mengerikan itulah yang
pada akhirnya memunculkan sikap-sikap apatis dan takut untuk berkecimpung di
dalamnya, untuk mengkritisi perjalanannya, dan menyampaikan aspirasi pada sang
penguasa.
Secercah harapan pun
muncul dari kubangan apatisme yang merebak di masyarakat. Ternyata, ada
segolongan orang yang disebut pemuda, yang kemudian menunjukkan sisi
intelektualnya dengan memberikan komentar, mengkritisi jalannya pemerintahan di
era sekarang ini, dan otomatis pembicaraan yang muncul adalah soal politik.
Akan tetapi, permasalahan baru pun muncul: golongan tua menganggap pemuda masih
terlalu labil dan terlalu hijau untuk berbicara tentang politik. Padahal,
pemuda adalah golongan orang yang merupakan aset berharga yang dimiliki oleh
suatu bangsa. Golongan tua yang ada saat ini cenderung sudah termakan doktrinasi
dari banyak pihak yang akhirnya berujung pada kehidupan yang cenderung bersifat
pragmatis. Pemuda adalah segolongan manusia yang memiliki kelebihan
dibandingkan dengan golongan tua. Pemuda, memiliki semangat untuk bersikap
kritis. Biasanya, pemuda memiliki idealisme yang kuat terhadap suatu hal,
contohnya idealisme pada kondisi suatu negara. Sehingga ketika jalannya
pemerintahan dirasa tidak sesuai dengan kondisi ideal suatu negara, maka
kencenderungan seorang pemuda adalah mengkritisi dan menyampaikan aspirasinya
pada penguasa. Inilah yang kemudian juga dimiliki oleh pemuda, yaitu
keberanian. Dengan dukungan idealisme yang kuat yang dimilikinya, pemuda akan
mendapatkan energi lebih yang akhirnya termanifestasikan dalam bentuk
keberanian, keberanian untuk menyuarakan kebenaran. Selain itu, pemuda adalah
generasi penerus, agen perubahan yang akan menggantikan para pemimpin di negeri
ini saat ini. Pemuda lah yang akan memiliki peranan lebih dan kemudian akan
naik untuk menata taman Indonesia ini. Konsekuensinya, pemuda harus mendapatkan
pendidikan yang memadai terkait politik dan mampu membaca, mencermati, dan
mengkritisi arus politik yang terjadi, sehingga ketika yang muda yang memimpin,
mereka memiliki pandangan yang cukup dan kreativitas yang luas dalam mengelola
negara.
Pada akhirnya, jelaslah
sudah bahwa seharusnya, politik bukanlah satu hal yang tabu untuk dibicarakan
oleh pemuda. Dengan segala potensi yang dimiliki oleh pemuda, dan visi bahwa
politik adalah alat untuk mensejahterakan rakyat dan bukan menjadi tujuan untuk
sekedar mencapai tampuk kekuasaan dan memanfaatkannya untuk kepentingan
pribadi, maka sudah waktunya bagi pemuda untuk kembali menatap ke depan dan
mempersiapkan diri semaksimal mungkin untuk menggantikan para pemimpin
Indonesia saat ini. Pergantian kepemimpinan adalah keniscayaan, dan konsekuensi
dari kefanaan adalah regenerasi, karena tidak ada satu hal pun yang bersifat
abadi. Maka sudah sudah jelas, sekali lagi, bahwa yang akan menjadi pemimpin di
masa depan adalah pemuda. Sudah waktunya bagi pemuda untuk menjadikan politik
sebagai bagian dari kehidupan mereka. Pencerdasan sosial-politik adalah agenda
besar yang harus dilakukan oleh pemuda saat ini, terlebih dalam menghadapi
momentum besar di tahun 2014. Pemuda harus mampu melihat, mencermati, dan
memberi penilaian yang akurat tentang orang-orang yang akan terlibat di dalam
panggung politik Indonesia kelak, sebelum akhirnya pemuda itu sendirilah yang
akan turun. Pada akhirnya, akan tiba waktunya bagi para pemuda untuk berkata
pada golongan tua, “izinkanlah kami terlibat, izinkanlah kami berkontribusi
untuk menata taman Indonesia, dan akan kami buat kalian tersenyum sebelum senja
tiba.”
Referensi:
Sudarsono, Amin, Ijtihad Membangun Basis Gerakan (Jakarta: Muda Cendekia, 2010)