Kamis, 25 September 2014

Sebait Rindu dalam Doa

Ketika pagi menyambut dengan kesetiaannya pada garis waktu
Sekilas memandang realitas kala mata terbuka
Menoleh ke kanan, kiri, tak ada sesiapa
Kemudian ada hampa yang meronta dalam relung jiwa
Ada apa? kenapa? di mana?
Entahlah, mungkin semacam ekspresi rindu
Rindu yang belum bertuan
Ini tentang fitrah seorang anak manusia
Yang telah ditanamkan dengan begitu indahnya
oleh Tuhan Yang Maha Kuasa
Di mana aku, dan dia telah ditakdirkan bersama
Ya, bersama, hanya saja aku tak tahu siapa dia
Di mana dia sekarang, apa kesibukannya
Aku hanya mampu menyebut dalam doa
Sembari berharap cinta kan datang pada waktunya
Wahai dia yang masih berada dibalik tabir
Bersabarlah
Karena dalam penantian kita
Allah sedang memberikan kita waktu
Untuk saling membahagiakan, menghebatkan diri bersama
Dan tentu saja, berjuang bersama menuju JannahNya
Menghimpun cinta kita, untuk mencintai-Nya
Wahai engkau yang tersebut dalam doa, tanpa nama
Teruslah menanti di batas asa
Karena takdirmu, takdirku, sudah terpahat dengan nyata
Bersabarlah,.
Karena penantian akan menjadi indah pada akhirnya..

Selasa, 16 September 2014

Untuk ayah

Buka mata, dan kau akan dihadapkan dengan realita kekinian. Berkacalah, dan kau akan melihat sesosok dirimu yang ada saat ini. Katakanlah, usiamu rata-rata 20-22 tahun. Sudah cukup dewasa untuk mengambil sikap, sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihan. Entah mengapa, kedewasaan itu kadangkala bisa menjebak juga. Merasa sudah benar-benar dewasa dan bisa berdiri dengan kaki sendiri. Seolah-olah semua proses dalam mozaik kehidupan sampai detik ini adalah buah dari jerih payahnya sendiri. Kita lupa bahwa ada sosok yang begitu tangguh membentuk kepribadian kita. Sosok yang pengorbanannya tak terkira.
Begitu juga denganku. Aku memilih untuk menolak lupa dengan sosok bersahaja itu. Aku memilih untuk mengingat kembali kasih sayangnya, sikap tegasnya, pun dengan keteladan yang ia berikan. Sosok itu adalah ayah. Dia yang memilih untuk tersenyum dan selalu berusaha memahami keinginan anaknya. Dia yang memilih untuk diam tak bicara, tapi bekerja sepenuh hati, penuh keikhlasan demi memenuhi permintaan anaknya. Aku masih mengingat betul, bagaimana dulu aku sumringah ketika ayah pulang dari kantor. Aku selalu menanti dibalik pintu untuk mengagetkan beliau. Kemudian memeluk dan bermanja-manja dengannya, dibalik wajah lelahnya. Pun ketika malam hari, di mana seharusnya beliau beristirahat, tapi aku seringkali merengek untuk diantar ke pasar, maklum, aku sangat suka sekali martabak, dan ayah selalu dengan senang hati mengantarku.
Ah, aku ingin flashback sedikit lagi. Kala itu aku masih sangat kecil, belum bersekolah sepertinya. Ayah selalu membacakan dongeng sebelum aku tidur. Entahlah pada saat itu apa yang sedang dia hadapi, mungkin banyak pikiran, pekerjaan kantor menumpuk, tapi ayah selalu menyempatkan diri untuk membacakan dongeng itu. Tahukah kau ayah? aku masih sangat mengingat dongeng tentang kancil dan sabuk nabi Sulaiman yang dulu engkau ceritakan. Episode itu masih begitu terkenang dalam sanubari. Selain itu aku masih ingat bagaimana engkau begitu sigap menemani dan mencari cara untuk menenangkanku, saat itu maagku kambuh, tengah malam. Bagaimana ayah bersama ibu berusaha menenangkan di tengah tangisanku, perih, sangat perih rasanya, ayah. Tapi aku begitu tentang saat jemari ayah dan ibu dengan lembut memijat tubuhku hingga aku terlelap. Masih tentang terlelap. Aku juga masih ingat betapa bandelnya aku. Sering tertidur di lantai, di depan tv dengan tv terus menyala sampai pagi. Tapi aku tahu, bahwa ayah yang sering mematikan tv di malam itu, dan yang bagiku begitu berarti adalah saat ayah menggendong tubuhku, membawaku ke dalam kamar dan memastikan tidurku nyaman. Begitulah ayah, masih banyak lagi episode yang begitu aku kenang sejak dulu hingga sekarang, bahkan saat ayah marah karena kecengenganku saat itu, kalah dalam satu permainan dan memilih pulang sambil menangis. Sesampainya di rumah aku justru dimarahi olehmu karena sikapku itu.hehe..aku masih ingat kemudian aku kabur ke kamar mandi setelah dimarahi, tak berani memandang wajahmu. Tapi aku tahu, ada rasa sayang yang teramat mendalam dibalik marahmu, bahwa ayah tak ingin aku tumbuh menjadi manusia yang lemah, menjadi manusia yang cengeng. Ayah ingin memberitahuku tentang kerasnya dunia. Terlalu banyak kenangan indah bersamamu ayah.
Hingga saat ini, aku berada di perguruan tinggi, menimba ilmu di kota orang. Selalu ada kerinduan yang tersimpan untukmu. Bagaimana aku merindukan saat-saat itu, ketika kita berbincang dan ayah menyampaikan tentang masa kecil ayah. Ketika ada nada khawatir, ada nada getir setiap kali ayah melepas kembali kepergianku ke tanah rantau. Bahkan sampai saat ini aku masih sering melontarkan keinginanku padamu ayah. Sungguh, sungguh aku merasa malu jika harus terus menerus meminta padamu ayah. Seharusnya sudah waktuku membuatmu bangga, sudah waktuku membalas ribuan, jutaan, milyaran, ah, aku bahkan tak sanggup menghitung, segala kasih sayangmu padaku. Hanya saja aku bingung, aku yakin aku tak akan mampu membalasnya, ya karena terlalu banyak yang telah ayah berikan. Aku hanya bisa patuh dan berusaha tak mengecewakanmu. Betapa aku begitu sedih ketika mendengarmu sakit, aku ingin secepat mungkin kembali dan mencium tanganmu, tapi apa daya, bahkan di saat seperti itu ayah masih memintaku untuk fokus pada mimpi dan cita-citaku di kota ini. Ayah, betapa aku teriris ketika masih harus melihatmu bekerja keras, sangat keras di sana. Bahkan hingga engkau jatuh sakit. Harusnya aku yang ada di sana, harusnya ayah sudah bisa menikmati hari-hari dengan lebih rileks. 
Ayah, catatan kecil ini hanyalah ekspresi rindu dari anak bungsumu. Dari anak yang selalu merepotkan, manja, dan bandel. Catatan kecil ini adalah sebaris kerinduan yang begitu dalam padamu, Catatan kecil ini adalah perenungan tentang perasaan sayangku yang amat dalam padamu ayah. Aku akan terus berjanji, senantiasa berjanji untuk tidak mengkhianati pintamu, untuk bisa memenuhi pintamu. Aku tak akan pernah lelah untuk mendoakanmu ayah, agar engkau selalu sehat dan bahagia di sana. Jagalah kesehatanmu, jangan terlalu khawatir dengan kondisi anakmu di sini, aku akan menjaga diri, pasti. Entahlah ayah, aku hanya rindu. Aku akan segera pulang, cepat atau lambat.
Untukmu, sang pahlawan. Sebenar-benar pahlawan, bagiku.
Taufikurochman..
(Bahkan jari-jariku bergetar saat mengetik namamu barusan..hehe...)

Sincerely yours,
Tommy Safarsyah

Kamis, 11 September 2014

Dekonstruksi Kultur Mahasiswa

Sejak dulu hingga sekarang, kampus masih tetap menjadi kawah candradimuka bagi calon-calon pemimpin bangsa. Di kampus, mahasiswa akan menemukan dunia intelektual yang dipenuhi dengan membaca, menulis, dan berdiskusi. Tidak hanya berhenti sampai di situ, doktrin yang diwariskan dari generasi ke generasi bahwa mahasiswa adalah kalangan yang berani untuk mengatakan benar sebagai sebuah kebenaran dan salah untuk sebuah kesalahan terus mengakar dan menancap sebagai sebuah bentuk konkrit dari daya kritis yang mereka miliki. Dipadu dengan semangat berapi-api khas pemuda, jadilah mahasiswa sebagai entitas yang ditakuti penguasa.
Seiring dengan perkembangan zaman, nampaknya ada perubahan paradigma bahkan dalam entitas mahasiswa itu sendiri dalam memandang peran, fungsi, dan bagaimana cara mahasiswa bergerak. Kultur yang cenderung pragmatis dan hedonis mulai menggerogoti idealisme itu. Banyak mahasiswa yang pada akhirnya hanya terjebak pada menara gading yang bernama kelas, ataupun sekedar menjadi penikmat ruang-ruang penuh kenikmatan sesaat seperti club, bar, dan lain sebagainya. Tidak sedikit mereka yang justru terbuai oleh kenikmatan narkoba, miras, ataupun hal-hal merusak lainnya. Namun ternyata permasalahan tidak berhenti di situ. Kultur membaca, menulis, dan berdiskusi yang dengan susah payah dibangun oleh para pendahulu, dengan begitu mudahnya didekonstruksi justru oleh para mahasiswa sendiri. Di samping itu, permainan NKK/BKK jilid dua yang begitu halus namun terasa, menjadi momok yang menakutkan bagi mahasiswa. Ketika mereka masuk ke kampus, seolah-olah pilihan hanya dua: lulus cepat, atau drop out. Alhasil, secara perlahan namun simultan, egoisme mulai meraja dalam benak pemikiran mahasiswa dan secara otomatis, individualisme menjadi produk dari sistem itu.
Begitu miris memang memandang situasi itu. Bahkan penulis sendiri masih berusaha mencari format gerakan yang paling ideal dengan kondisi saat ini. Dengan posisi strategis yang saat ini diemban oleh penulis, penulis hanya berharap agar tanggungjawab moral dan tanggungjawab sejarah itu tidak memuai dengan mudah dari sanubari para calon pemimpin bangsa ini. Bagaimana Indonesia ke depan, lihat saja para pemudanya. Inilah gambaran Indonesia di masa depan. Menjadi penguasa di rumah sendiri, atau sekedar menjadi comprador kaum kapitalis saja. Mungkin ini sekedar tulisan singkat, entahlah. Penulis hanya mencoba menuangkan keresahannya lewat sebauh tulisan. Dengan harapan ada yang membaca, tersadarkan, dan mau bersama merubah keadaan. Bukan untuk kemudian terjebak dengan romantisme masa lalu, tapi mencari format gerakan yang paling ideal dengan situasi kekinian. Semoga, Indonesia.

Gerakan Mahasiswa: Mati dalam Hidup

Menjadi mahasiswa adalah penegasan identitas sebagai bagian dari entitas transformator peradaban bangsa. Sejak dulu hingga sekarang, sejarah telah bercerita tentang generasi yang mampu membawa perubahan pada zamannya yang berdampak sistemik pada masa depan. Sebut saja generasi angkatan ’66 yang berhasil menggulingkan presiden Soekarno dari jabatannya, peristiwa malari, serta tumbangnya rezim Soeharto oleh generasi 1998. Rangkaian peristiwa emas itu dimotori oleh mahasiswa yang bergerak atas nama idealisme dan rasa cinta tanah air.
            Kisah kepahlawanan mahasiswa bukannya berjalan mulus tanpa hambatan. Dengan berbagai bukti kekuatan yang dimiliki mahasiswa, pemerintah Soeharto pada saat itu melihat bahwa mahasiswa harus dimatikan pergerakannya untuk melindungi kelanggengan kekuasaan Soeharto. Sehingga pada periode 1980an, Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan Nasional saat itu, membuat kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) yang mana berusaha menjauhkan unsur politik dari kehidupan kampus. Seluruh kegiatan kemahasiswaan, termasuk organisasi mahasiswa, berada di bawah kendali birokrasi kampus. Walaupun kebijakan itu sudah dicabut, namun efeknya bahkan masih terasa sampai saat ini, dengan kebijakan-kebijakan pendidikan, baik itu di ranah kampus maupun nasional, yang berusaha menjauhkan mahasiswa dari kegiatan politik dan membentuk pola pikir pragmatis pada mahasiswa. Beban perkuliahan yang dipadatkan, dengan durasi yang cukup singkat, ini menambah beban psikologis mahasiswa terhadap akademiknya, alhasil, ketertarikan mahasiswa untuk bergabung dengan organisasi mahasiswa, baik itu intra maupun ekstra, semakin berkurang. Inilah yang sering disebut dengan NKK/BKK Jilid 2.
            Disadari atau tidak, heroisme mahasiswa di masa lalu hanya sekedar menjadi kisah kepahlawanan yang dikenang. Kemunduran gerakan mahasiswa begitu terasa kali ini, baik itu dari organisasi intra maupun ekstra. Sebagian besar aktivis mahasiswa justru terjebak dalam sistem yang dibuat oleh kalangan yang menginginkan kematian gerakan demi melindungi kekuasaan dan ‘kondusifitas’ kampus ataupun negara, kondusifitas versi penguasa. Kegiatan mahasiswa memang didorong untuk tetap hidup, namun diimbangi dengan kegiatan akademik yang semakin menekan dan membuat waktu untuk bergerak di ranah gerakan mahasiswa semakin habis. Akhirnya, gerakan mahasiswa memang ada, namun semakin tumpul dan, bisa jadi, akan hilang. Di samping itu, konflik antar gerakan mahasiswa juga membuat persoalan semakin kompleks. Perbedaan ideologi gerakan justru seringkali memicu konflik yang berujung perpecahan mahasiswa. Padahal seharusnya, perbedaan itu bisa menciptakan sinergi dan tidak menutup pintu untuk membuat gerakan bersama. Mereka seolah lupa bahwa sebuah lukisan tidak akan tampak indah jika hanya ada satu warna di sana. Bisa kita bayangkan, di tengah konflik di internal mahasiswa seperti itu, birokrasi bisa dengan bebas mengeluarkan kebijakan apapun tanpa ada pengawasan yang optimal dari organisasi mahasiswa. Sekali lagi, meskipun kita seringkali dibius dengan kisah kepahlawan mahasiswa di masa lalu, itu hanya sekedar menjadi doktrin yang kekuatannya hanya berlangsung satu dua hari saja.
            Dampak dari kemunduran gerakan mahasiswa sangat bisa terlihat kali ini. Banyak isu yang seharusnya mampu digoreng oleh organisasi mahasiswa justru terlewatkan begitu saja. Momentum nasional mulai dari hari besar nasional, pergantian presiden, sampai pembatasan kuota dan kenaikan harga BBM nyaris terlewatkan. Mahasiswa bungkam. Kalaupun bersuara, media sosial menjadi pemberhentian terakhir perjalanan isu. Hanya kuat pada ranah wacana saja. Akhirnya, kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat terus bergulir dengan mulus. Penguasa benar-benar menjadi raja, kerajaannya bernama Indonesia.
            Idealnya, organisasi mahasiswa mampu mewujud sebagai entitas yang melakukan pengawasan ketat terhadap jalannya pemerintahan. Mereka menjadi jembatan antara pemerintahan dengan rakyat. Mereka menjadi kalangan intelektual yang senantiasa berharap tentang tatanan kehidupan yang ideal; berdikari, adil, makmur, dan sejahtera. Untuk itu, dibutuhkan sensitifitas sosial yang tinggi dari masing-masing mahasiswa, yang kemudian mereka berhimpun dalam organisasi mahasiswa. Apatisme mahasiswa harus diberantas oleh generasi yang sadar akan peran dan fungsinya sebagai mahasiswa. Kesadaran akan pentingnya berhimpun dalam gerakan ideologis harus ditanam dan disebarluaskan di kalangan kampus. Mahasiswa yang sudah memiliki nalar bergerak secara otomatis membutuhkan wadah perjuangan itu, dan organisasi mahasiswa adalah jawabannya, baik itu intra maupun ekstra. Organisasi mahasiswa harus menjadi kawah candradimuka bagi kader-kader bangsa yang masih yakin tentang mimpi peradaban Indonesia yang madani. Mahasiswa harus menghidupkan semangatnya kembali. Mereka harus membangun jiwanya kembali yang secara otomatis organisasi mahasiswa akan kembali hidup dan menemukan kembali jati dirinya. Kebangkitan gerakan mahasiswa bukanlah satu hal yang utopis. Masih banyak kesempatan yang bisa diambil dan digunakan untuk membangkitkan dan mensinergikan gerakan mahasiswa. Terlepas dari ideologi yang berbeda antar gerakan itu, asalkan mindset membangun Indonesia tetap tertanam dalam dada masing-masing anggotanya, konflik internal mahasiswa bisa diminimalisir. Lagipula, Indonesia tidak berdiri di atas darah dan perjuangan satu golongan saja. Indonesia adalah bukti kemenangan sinergitas gerakan. Kemerdekaan Indonesia adalah bukti bahwa harmonisasi ideologi bukanlah mimpi di siang bolong. Kebangkitan gerakan mahasiwa masih menjadi mimpi, dan akan menjadi kenyataan sebentar lagi.