Kamis, 11 September 2014

Gerakan Mahasiswa: Mati dalam Hidup

Menjadi mahasiswa adalah penegasan identitas sebagai bagian dari entitas transformator peradaban bangsa. Sejak dulu hingga sekarang, sejarah telah bercerita tentang generasi yang mampu membawa perubahan pada zamannya yang berdampak sistemik pada masa depan. Sebut saja generasi angkatan ’66 yang berhasil menggulingkan presiden Soekarno dari jabatannya, peristiwa malari, serta tumbangnya rezim Soeharto oleh generasi 1998. Rangkaian peristiwa emas itu dimotori oleh mahasiswa yang bergerak atas nama idealisme dan rasa cinta tanah air.
            Kisah kepahlawanan mahasiswa bukannya berjalan mulus tanpa hambatan. Dengan berbagai bukti kekuatan yang dimiliki mahasiswa, pemerintah Soeharto pada saat itu melihat bahwa mahasiswa harus dimatikan pergerakannya untuk melindungi kelanggengan kekuasaan Soeharto. Sehingga pada periode 1980an, Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan Nasional saat itu, membuat kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) yang mana berusaha menjauhkan unsur politik dari kehidupan kampus. Seluruh kegiatan kemahasiswaan, termasuk organisasi mahasiswa, berada di bawah kendali birokrasi kampus. Walaupun kebijakan itu sudah dicabut, namun efeknya bahkan masih terasa sampai saat ini, dengan kebijakan-kebijakan pendidikan, baik itu di ranah kampus maupun nasional, yang berusaha menjauhkan mahasiswa dari kegiatan politik dan membentuk pola pikir pragmatis pada mahasiswa. Beban perkuliahan yang dipadatkan, dengan durasi yang cukup singkat, ini menambah beban psikologis mahasiswa terhadap akademiknya, alhasil, ketertarikan mahasiswa untuk bergabung dengan organisasi mahasiswa, baik itu intra maupun ekstra, semakin berkurang. Inilah yang sering disebut dengan NKK/BKK Jilid 2.
            Disadari atau tidak, heroisme mahasiswa di masa lalu hanya sekedar menjadi kisah kepahlawanan yang dikenang. Kemunduran gerakan mahasiswa begitu terasa kali ini, baik itu dari organisasi intra maupun ekstra. Sebagian besar aktivis mahasiswa justru terjebak dalam sistem yang dibuat oleh kalangan yang menginginkan kematian gerakan demi melindungi kekuasaan dan ‘kondusifitas’ kampus ataupun negara, kondusifitas versi penguasa. Kegiatan mahasiswa memang didorong untuk tetap hidup, namun diimbangi dengan kegiatan akademik yang semakin menekan dan membuat waktu untuk bergerak di ranah gerakan mahasiswa semakin habis. Akhirnya, gerakan mahasiswa memang ada, namun semakin tumpul dan, bisa jadi, akan hilang. Di samping itu, konflik antar gerakan mahasiswa juga membuat persoalan semakin kompleks. Perbedaan ideologi gerakan justru seringkali memicu konflik yang berujung perpecahan mahasiswa. Padahal seharusnya, perbedaan itu bisa menciptakan sinergi dan tidak menutup pintu untuk membuat gerakan bersama. Mereka seolah lupa bahwa sebuah lukisan tidak akan tampak indah jika hanya ada satu warna di sana. Bisa kita bayangkan, di tengah konflik di internal mahasiswa seperti itu, birokrasi bisa dengan bebas mengeluarkan kebijakan apapun tanpa ada pengawasan yang optimal dari organisasi mahasiswa. Sekali lagi, meskipun kita seringkali dibius dengan kisah kepahlawan mahasiswa di masa lalu, itu hanya sekedar menjadi doktrin yang kekuatannya hanya berlangsung satu dua hari saja.
            Dampak dari kemunduran gerakan mahasiswa sangat bisa terlihat kali ini. Banyak isu yang seharusnya mampu digoreng oleh organisasi mahasiswa justru terlewatkan begitu saja. Momentum nasional mulai dari hari besar nasional, pergantian presiden, sampai pembatasan kuota dan kenaikan harga BBM nyaris terlewatkan. Mahasiswa bungkam. Kalaupun bersuara, media sosial menjadi pemberhentian terakhir perjalanan isu. Hanya kuat pada ranah wacana saja. Akhirnya, kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat terus bergulir dengan mulus. Penguasa benar-benar menjadi raja, kerajaannya bernama Indonesia.
            Idealnya, organisasi mahasiswa mampu mewujud sebagai entitas yang melakukan pengawasan ketat terhadap jalannya pemerintahan. Mereka menjadi jembatan antara pemerintahan dengan rakyat. Mereka menjadi kalangan intelektual yang senantiasa berharap tentang tatanan kehidupan yang ideal; berdikari, adil, makmur, dan sejahtera. Untuk itu, dibutuhkan sensitifitas sosial yang tinggi dari masing-masing mahasiswa, yang kemudian mereka berhimpun dalam organisasi mahasiswa. Apatisme mahasiswa harus diberantas oleh generasi yang sadar akan peran dan fungsinya sebagai mahasiswa. Kesadaran akan pentingnya berhimpun dalam gerakan ideologis harus ditanam dan disebarluaskan di kalangan kampus. Mahasiswa yang sudah memiliki nalar bergerak secara otomatis membutuhkan wadah perjuangan itu, dan organisasi mahasiswa adalah jawabannya, baik itu intra maupun ekstra. Organisasi mahasiswa harus menjadi kawah candradimuka bagi kader-kader bangsa yang masih yakin tentang mimpi peradaban Indonesia yang madani. Mahasiswa harus menghidupkan semangatnya kembali. Mereka harus membangun jiwanya kembali yang secara otomatis organisasi mahasiswa akan kembali hidup dan menemukan kembali jati dirinya. Kebangkitan gerakan mahasiswa bukanlah satu hal yang utopis. Masih banyak kesempatan yang bisa diambil dan digunakan untuk membangkitkan dan mensinergikan gerakan mahasiswa. Terlepas dari ideologi yang berbeda antar gerakan itu, asalkan mindset membangun Indonesia tetap tertanam dalam dada masing-masing anggotanya, konflik internal mahasiswa bisa diminimalisir. Lagipula, Indonesia tidak berdiri di atas darah dan perjuangan satu golongan saja. Indonesia adalah bukti kemenangan sinergitas gerakan. Kemerdekaan Indonesia adalah bukti bahwa harmonisasi ideologi bukanlah mimpi di siang bolong. Kebangkitan gerakan mahasiwa masih menjadi mimpi, dan akan menjadi kenyataan sebentar lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar