Menjadi mahasiswa
adalah penegasan identitas sebagai bagian dari entitas transformator peradaban
bangsa. Sejak dulu hingga sekarang, sejarah telah bercerita tentang generasi
yang mampu membawa perubahan pada zamannya yang berdampak sistemik pada masa
depan. Sebut saja generasi angkatan ’66 yang berhasil menggulingkan presiden
Soekarno dari jabatannya, peristiwa malari, serta tumbangnya rezim Soeharto
oleh generasi 1998. Rangkaian peristiwa emas itu dimotori oleh mahasiswa yang
bergerak atas nama idealisme dan rasa cinta tanah air.
Kisah
kepahlawanan mahasiswa bukannya berjalan mulus tanpa hambatan. Dengan berbagai
bukti kekuatan yang dimiliki mahasiswa, pemerintah Soeharto pada saat itu
melihat bahwa mahasiswa harus dimatikan pergerakannya untuk melindungi
kelanggengan kekuasaan Soeharto. Sehingga pada periode 1980an, Daoed Joesoef,
Menteri Pendidikan Nasional saat itu, membuat kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan
Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) yang mana berusaha menjauhkan unsur
politik dari kehidupan kampus. Seluruh kegiatan kemahasiswaan, termasuk
organisasi mahasiswa, berada di bawah kendali birokrasi kampus. Walaupun
kebijakan itu sudah dicabut, namun efeknya bahkan masih terasa sampai saat ini,
dengan kebijakan-kebijakan pendidikan, baik itu di ranah kampus maupun
nasional, yang berusaha menjauhkan mahasiswa dari kegiatan politik dan
membentuk pola pikir pragmatis pada mahasiswa. Beban perkuliahan yang
dipadatkan, dengan durasi yang cukup singkat, ini menambah beban psikologis
mahasiswa terhadap akademiknya, alhasil, ketertarikan mahasiswa untuk bergabung
dengan organisasi mahasiswa, baik itu intra maupun ekstra, semakin berkurang.
Inilah yang sering disebut dengan NKK/BKK Jilid 2.
Disadari
atau tidak, heroisme mahasiswa di masa lalu hanya sekedar menjadi kisah
kepahlawanan yang dikenang. Kemunduran gerakan mahasiswa begitu terasa kali
ini, baik itu dari organisasi intra maupun ekstra. Sebagian besar aktivis
mahasiswa justru terjebak dalam sistem yang dibuat oleh kalangan yang
menginginkan kematian gerakan demi melindungi kekuasaan dan ‘kondusifitas’
kampus ataupun negara, kondusifitas versi penguasa. Kegiatan mahasiswa memang didorong untuk tetap hidup,
namun diimbangi dengan kegiatan akademik yang semakin menekan dan membuat waktu
untuk bergerak di ranah gerakan mahasiswa semakin habis. Akhirnya, gerakan
mahasiswa memang ada, namun semakin tumpul dan, bisa jadi, akan hilang. Di
samping itu, konflik antar gerakan mahasiswa juga membuat persoalan semakin
kompleks. Perbedaan ideologi gerakan justru seringkali memicu konflik yang
berujung perpecahan mahasiswa. Padahal seharusnya, perbedaan itu bisa
menciptakan sinergi dan tidak menutup pintu untuk membuat gerakan bersama.
Mereka seolah lupa bahwa sebuah lukisan tidak akan tampak indah jika hanya ada
satu warna di sana. Bisa kita bayangkan, di tengah konflik di internal
mahasiswa seperti itu, birokrasi bisa dengan bebas mengeluarkan kebijakan
apapun tanpa ada pengawasan yang optimal dari organisasi mahasiswa. Sekali
lagi, meskipun kita seringkali dibius dengan kisah kepahlawan mahasiswa di masa
lalu, itu hanya sekedar menjadi doktrin yang kekuatannya hanya berlangsung satu
dua hari saja.
Dampak dari kemunduran gerakan
mahasiswa sangat bisa terlihat kali ini. Banyak isu yang seharusnya mampu
digoreng oleh organisasi mahasiswa justru terlewatkan begitu saja. Momentum
nasional mulai dari hari besar nasional, pergantian presiden, sampai pembatasan
kuota dan kenaikan harga BBM nyaris terlewatkan. Mahasiswa bungkam. Kalaupun
bersuara, media sosial menjadi pemberhentian terakhir perjalanan isu. Hanya
kuat pada ranah wacana saja. Akhirnya, kebijakan-kebijakan yang merugikan
rakyat terus bergulir dengan mulus. Penguasa benar-benar menjadi raja, kerajaannya
bernama Indonesia.
Idealnya, organisasi mahasiswa mampu
mewujud sebagai entitas yang melakukan pengawasan ketat terhadap jalannya
pemerintahan. Mereka menjadi jembatan antara pemerintahan dengan rakyat. Mereka
menjadi kalangan intelektual yang senantiasa berharap tentang tatanan kehidupan
yang ideal; berdikari, adil, makmur, dan sejahtera. Untuk itu, dibutuhkan
sensitifitas sosial yang tinggi dari masing-masing mahasiswa, yang kemudian
mereka berhimpun dalam organisasi mahasiswa. Apatisme mahasiswa harus
diberantas oleh generasi yang sadar akan peran dan fungsinya sebagai mahasiswa.
Kesadaran akan pentingnya berhimpun dalam gerakan ideologis harus ditanam dan
disebarluaskan di kalangan kampus. Mahasiswa yang sudah memiliki nalar bergerak
secara otomatis membutuhkan wadah perjuangan itu, dan organisasi mahasiswa
adalah jawabannya, baik itu intra maupun ekstra. Organisasi mahasiswa harus
menjadi kawah candradimuka bagi kader-kader bangsa yang masih yakin tentang
mimpi peradaban Indonesia yang madani. Mahasiswa harus menghidupkan semangatnya
kembali. Mereka harus membangun jiwanya kembali yang secara otomatis organisasi
mahasiswa akan kembali hidup dan menemukan kembali jati dirinya. Kebangkitan
gerakan mahasiswa bukanlah satu hal yang utopis. Masih banyak kesempatan yang
bisa diambil dan digunakan untuk membangkitkan dan mensinergikan gerakan
mahasiswa. Terlepas dari ideologi yang berbeda antar gerakan itu, asalkan mindset membangun Indonesia tetap
tertanam dalam dada masing-masing anggotanya, konflik internal mahasiswa bisa
diminimalisir. Lagipula, Indonesia tidak berdiri di atas darah dan perjuangan
satu golongan saja. Indonesia adalah bukti kemenangan sinergitas gerakan.
Kemerdekaan Indonesia adalah bukti bahwa harmonisasi ideologi bukanlah mimpi di
siang bolong. Kebangkitan gerakan mahasiwa masih menjadi mimpi, dan akan
menjadi kenyataan sebentar lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar