Selasa, 16 September 2014

Untuk ayah

Buka mata, dan kau akan dihadapkan dengan realita kekinian. Berkacalah, dan kau akan melihat sesosok dirimu yang ada saat ini. Katakanlah, usiamu rata-rata 20-22 tahun. Sudah cukup dewasa untuk mengambil sikap, sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihan. Entah mengapa, kedewasaan itu kadangkala bisa menjebak juga. Merasa sudah benar-benar dewasa dan bisa berdiri dengan kaki sendiri. Seolah-olah semua proses dalam mozaik kehidupan sampai detik ini adalah buah dari jerih payahnya sendiri. Kita lupa bahwa ada sosok yang begitu tangguh membentuk kepribadian kita. Sosok yang pengorbanannya tak terkira.
Begitu juga denganku. Aku memilih untuk menolak lupa dengan sosok bersahaja itu. Aku memilih untuk mengingat kembali kasih sayangnya, sikap tegasnya, pun dengan keteladan yang ia berikan. Sosok itu adalah ayah. Dia yang memilih untuk tersenyum dan selalu berusaha memahami keinginan anaknya. Dia yang memilih untuk diam tak bicara, tapi bekerja sepenuh hati, penuh keikhlasan demi memenuhi permintaan anaknya. Aku masih mengingat betul, bagaimana dulu aku sumringah ketika ayah pulang dari kantor. Aku selalu menanti dibalik pintu untuk mengagetkan beliau. Kemudian memeluk dan bermanja-manja dengannya, dibalik wajah lelahnya. Pun ketika malam hari, di mana seharusnya beliau beristirahat, tapi aku seringkali merengek untuk diantar ke pasar, maklum, aku sangat suka sekali martabak, dan ayah selalu dengan senang hati mengantarku.
Ah, aku ingin flashback sedikit lagi. Kala itu aku masih sangat kecil, belum bersekolah sepertinya. Ayah selalu membacakan dongeng sebelum aku tidur. Entahlah pada saat itu apa yang sedang dia hadapi, mungkin banyak pikiran, pekerjaan kantor menumpuk, tapi ayah selalu menyempatkan diri untuk membacakan dongeng itu. Tahukah kau ayah? aku masih sangat mengingat dongeng tentang kancil dan sabuk nabi Sulaiman yang dulu engkau ceritakan. Episode itu masih begitu terkenang dalam sanubari. Selain itu aku masih ingat bagaimana engkau begitu sigap menemani dan mencari cara untuk menenangkanku, saat itu maagku kambuh, tengah malam. Bagaimana ayah bersama ibu berusaha menenangkan di tengah tangisanku, perih, sangat perih rasanya, ayah. Tapi aku begitu tentang saat jemari ayah dan ibu dengan lembut memijat tubuhku hingga aku terlelap. Masih tentang terlelap. Aku juga masih ingat betapa bandelnya aku. Sering tertidur di lantai, di depan tv dengan tv terus menyala sampai pagi. Tapi aku tahu, bahwa ayah yang sering mematikan tv di malam itu, dan yang bagiku begitu berarti adalah saat ayah menggendong tubuhku, membawaku ke dalam kamar dan memastikan tidurku nyaman. Begitulah ayah, masih banyak lagi episode yang begitu aku kenang sejak dulu hingga sekarang, bahkan saat ayah marah karena kecengenganku saat itu, kalah dalam satu permainan dan memilih pulang sambil menangis. Sesampainya di rumah aku justru dimarahi olehmu karena sikapku itu.hehe..aku masih ingat kemudian aku kabur ke kamar mandi setelah dimarahi, tak berani memandang wajahmu. Tapi aku tahu, ada rasa sayang yang teramat mendalam dibalik marahmu, bahwa ayah tak ingin aku tumbuh menjadi manusia yang lemah, menjadi manusia yang cengeng. Ayah ingin memberitahuku tentang kerasnya dunia. Terlalu banyak kenangan indah bersamamu ayah.
Hingga saat ini, aku berada di perguruan tinggi, menimba ilmu di kota orang. Selalu ada kerinduan yang tersimpan untukmu. Bagaimana aku merindukan saat-saat itu, ketika kita berbincang dan ayah menyampaikan tentang masa kecil ayah. Ketika ada nada khawatir, ada nada getir setiap kali ayah melepas kembali kepergianku ke tanah rantau. Bahkan sampai saat ini aku masih sering melontarkan keinginanku padamu ayah. Sungguh, sungguh aku merasa malu jika harus terus menerus meminta padamu ayah. Seharusnya sudah waktuku membuatmu bangga, sudah waktuku membalas ribuan, jutaan, milyaran, ah, aku bahkan tak sanggup menghitung, segala kasih sayangmu padaku. Hanya saja aku bingung, aku yakin aku tak akan mampu membalasnya, ya karena terlalu banyak yang telah ayah berikan. Aku hanya bisa patuh dan berusaha tak mengecewakanmu. Betapa aku begitu sedih ketika mendengarmu sakit, aku ingin secepat mungkin kembali dan mencium tanganmu, tapi apa daya, bahkan di saat seperti itu ayah masih memintaku untuk fokus pada mimpi dan cita-citaku di kota ini. Ayah, betapa aku teriris ketika masih harus melihatmu bekerja keras, sangat keras di sana. Bahkan hingga engkau jatuh sakit. Harusnya aku yang ada di sana, harusnya ayah sudah bisa menikmati hari-hari dengan lebih rileks. 
Ayah, catatan kecil ini hanyalah ekspresi rindu dari anak bungsumu. Dari anak yang selalu merepotkan, manja, dan bandel. Catatan kecil ini adalah sebaris kerinduan yang begitu dalam padamu, Catatan kecil ini adalah perenungan tentang perasaan sayangku yang amat dalam padamu ayah. Aku akan terus berjanji, senantiasa berjanji untuk tidak mengkhianati pintamu, untuk bisa memenuhi pintamu. Aku tak akan pernah lelah untuk mendoakanmu ayah, agar engkau selalu sehat dan bahagia di sana. Jagalah kesehatanmu, jangan terlalu khawatir dengan kondisi anakmu di sini, aku akan menjaga diri, pasti. Entahlah ayah, aku hanya rindu. Aku akan segera pulang, cepat atau lambat.
Untukmu, sang pahlawan. Sebenar-benar pahlawan, bagiku.
Taufikurochman..
(Bahkan jari-jariku bergetar saat mengetik namamu barusan..hehe...)

Sincerely yours,
Tommy Safarsyah

1 komentar:

  1. Ciee Mas Tom-Tom.. Nonton Sang Pemimpi, mesti nangis.. :D :v

    BalasHapus