Kamis, 11 September 2014

Dekonstruksi Kultur Mahasiswa

Sejak dulu hingga sekarang, kampus masih tetap menjadi kawah candradimuka bagi calon-calon pemimpin bangsa. Di kampus, mahasiswa akan menemukan dunia intelektual yang dipenuhi dengan membaca, menulis, dan berdiskusi. Tidak hanya berhenti sampai di situ, doktrin yang diwariskan dari generasi ke generasi bahwa mahasiswa adalah kalangan yang berani untuk mengatakan benar sebagai sebuah kebenaran dan salah untuk sebuah kesalahan terus mengakar dan menancap sebagai sebuah bentuk konkrit dari daya kritis yang mereka miliki. Dipadu dengan semangat berapi-api khas pemuda, jadilah mahasiswa sebagai entitas yang ditakuti penguasa.
Seiring dengan perkembangan zaman, nampaknya ada perubahan paradigma bahkan dalam entitas mahasiswa itu sendiri dalam memandang peran, fungsi, dan bagaimana cara mahasiswa bergerak. Kultur yang cenderung pragmatis dan hedonis mulai menggerogoti idealisme itu. Banyak mahasiswa yang pada akhirnya hanya terjebak pada menara gading yang bernama kelas, ataupun sekedar menjadi penikmat ruang-ruang penuh kenikmatan sesaat seperti club, bar, dan lain sebagainya. Tidak sedikit mereka yang justru terbuai oleh kenikmatan narkoba, miras, ataupun hal-hal merusak lainnya. Namun ternyata permasalahan tidak berhenti di situ. Kultur membaca, menulis, dan berdiskusi yang dengan susah payah dibangun oleh para pendahulu, dengan begitu mudahnya didekonstruksi justru oleh para mahasiswa sendiri. Di samping itu, permainan NKK/BKK jilid dua yang begitu halus namun terasa, menjadi momok yang menakutkan bagi mahasiswa. Ketika mereka masuk ke kampus, seolah-olah pilihan hanya dua: lulus cepat, atau drop out. Alhasil, secara perlahan namun simultan, egoisme mulai meraja dalam benak pemikiran mahasiswa dan secara otomatis, individualisme menjadi produk dari sistem itu.
Begitu miris memang memandang situasi itu. Bahkan penulis sendiri masih berusaha mencari format gerakan yang paling ideal dengan kondisi saat ini. Dengan posisi strategis yang saat ini diemban oleh penulis, penulis hanya berharap agar tanggungjawab moral dan tanggungjawab sejarah itu tidak memuai dengan mudah dari sanubari para calon pemimpin bangsa ini. Bagaimana Indonesia ke depan, lihat saja para pemudanya. Inilah gambaran Indonesia di masa depan. Menjadi penguasa di rumah sendiri, atau sekedar menjadi comprador kaum kapitalis saja. Mungkin ini sekedar tulisan singkat, entahlah. Penulis hanya mencoba menuangkan keresahannya lewat sebauh tulisan. Dengan harapan ada yang membaca, tersadarkan, dan mau bersama merubah keadaan. Bukan untuk kemudian terjebak dengan romantisme masa lalu, tapi mencari format gerakan yang paling ideal dengan situasi kekinian. Semoga, Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar