Jumat, 08 Januari 2016

Sebuah Renungan

Beberapa hari ini berhadapan dengan banyak standar ganda. Di antara orang-orang awam, terdapat banyak kecurigaan dan nuansa hedonis. Di tengah-tengah orang shalih, nyatanya masih terdapat potensi konflik. Begitulah tabiat kemanusiaan. Tanpa menafikan bahwa semakin bertaqwa seorang manusia maka derajatnya semakin tinggi, namun nyatanya ia tetaplah manusia dengan segala tabiat kemanusiaannya. Tak akan mengubahnya menjadi malaikat.

Manusia, seperti yang telah kita ketahui menyimpan dua potensi besar. Dua potensi yang Allah berikan pada kita semua, manusia, tanpa terkecuali. Bisa menjadi buruk, dan juga bisa menjadi baik. Bergantung pada bagaimana kita memilih akhirnya. Kebaikan dan keburukan akan terus bertempur berebut untuk menguasai hati setiap manusia. Kemudian ketika kita menjadi baik apakah potensi buruk itu menghilang? tidak. Potensinya mengecil, mungkin iya, tapi ia tetap ada. Mungkin lebih terkendali. Namun akhirnya, kita akan tetap menjadi manusia, bukan malaikat.

Dari sini saya mengambil pelajaran, bahwa ketundukan kita, pegangan kita, bukanlah pada manusia, tapi pada substansi. Sejatinya, ketundukan kita jelas pada Allah swt. kemudian jalannya adalah dengan melaksanakan setiap perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Di sini kita bicara tentang substansi menjalani hidup. Tuntunannya sudah jelas, Al-Qur'an dan Sunnah. Substansi itulah yang menjadi jalan ketundukan kita, bukan pada figur, bukan pada manusia. Bahkan kecintaan kita pada Nabi Muhammad pun secara substansi dilandasi oleh kecintaan kita pada Allah swt. bukan?

Sekali lagi, manusia akan tetap menjadi manusia, dengan segala potensi baik dan buruknya. Maka kembalilah ada substansi, bukan figuritas.

Diiringi rinai hujan,
Yogyakarta, 8 Januari 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar