Kamis, 07 Januari 2016

#SaveRonny mencapai (Anti)klimaks

Beberapa hari terakhir mahasiswa kembali digegerkan dengan berita pemecatan status mahasiswa Ketua BEM UNJ 2015, Ronny Setiawan. Dengan alasan pencemaran nama baik terhadap Rektor, Rapat Pimpinan UNJ serta merta mengeluarkan surat pemanggilan untuk orang tua Ronny dan berlanjut dengan Surat Pemecatan. Usut punya usut, ternyata awal mula dari pemecatan Ronny adalah agresifitasnya dalam mengkritisi kampus dan birokrasi provinsi sehingga membuat gerah para petinggi di wilayah tersebut. Sontak, mahasiswa dan masyarakat Indonesia bergemuruh. Bentuk dukungan terhadap Ronny hadir dari seluruh penjuru negeri. Sebagian mengatakan ada penyelewengan demokrasi karena kebebasan berpendapat dicerabut, ada pula yang mengatakan sikap rektor UNJ telah mematikan ruang belajar bagi mahasiswa yang justru bertentangan secara diametral dengan tabiat dan karakter kampus itu sendiri. Pimpinan UNJ terpojok. Akhirnya, satu hari kemudian, islah terjadi antara pihak BEM UNJ dan Pimpinan birokrasi UNJ. SK DO dicabut.

Ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari kejadian yang sempat membuat geger mahasiswa se-Indonesia tersebut. Pertama, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa gerakan mahasiswa masih berpotensi menjadi kekuatan yang besar ketika ia bertemu dalam kepentingan yang sama. Momentum pemecatan Ronny memicu sebagian besar mahasiswa, dari gerakan manapun, untuk menuntut pimpinan UNJ mencabut SK DO tersebut. Bahkan, hastag #SaveRonny sempat menjadi trending topic di twitter. Pernyataan sikap lembaga bermunculan, sampai muncul statement bahwa apabila SK DO tidak segera dicabut, mahasiswa Indonesia akan tumpah ruah di rektorat UNJ. Sinyalemen positif ini menjadi angin segar di tengah konflik horizontal yang kerap kali terjadi di tengah mahasiswa, entah itu hanya sekedar karena perbedaan ideologi, ataupun perbedaan kepentingan lainnya. Kedua, kejadian tersebut membuka mata kita bahwa motif tirani belum sepenuhnya tercerabut dari bumi pertiwi. Sisa-sisa mental orde baru masih hidup di dalam sebagian jiwa para pengambil kebijakan di negeri ini. Sikap antikritik, dan membatasi kebebasan mengemukakan pendapat masih diancam dengan bentuk pencabutan hak dan tindakan sewenang-wenang. Hal ini harus menjadi perhatian bagi dunia pendidikan, terutamanya, agar lebih mawas diri dan memperbaiki situasi agar senantiasa mengedepankan sikap ilmiah dalam menyikapi sesuatu, layaknya mahasiswa yang akan turun aksi pun selalu mengupayakan sikap ilmiah dalam pengambilan kebijakan aksi yang menggunakan data.

Meskipun begitu, saya pribadi menyayangkan akhir dari kasus ini yang antiklimaks. People power dalam bentuk gerakan mahasiswa yang hampir saja memenangkan pertarungan melawan motif tirani itu dikebiri dengan masuknya partai politik dalam penyelesaian masalah. Terlebih dengan hadirnya klaim mediasi, seolah membuat kekuatan gerakan mahasiswa yang sudah hampir mencapai puncaknya lenyap begitu saja, bahkan menjadi kontraproduktif dengan munculnya isu keterkaitan antara Ronny dan partai politik itu. Meskipun telah diklarifikasi oleh BEM UNJ bahwa tidak ada keterkaitan antara BEM UNJ atau Ronny sendiri dengan partai politik yang bersangkutan dalam penyelesaian konflik ini, namun citra terlanjur hadir ke publik. Dampaknya, bola panas kembali ke tangan mahasiswa, atau dalam hal ini terutama BEM UNJ, sehingga justru menjadi bulan-bulanan terkait dugaan afiliasi politik mereka. Akhirnya, beberapa tuntutan memang tercapai, namun sayang seribu sayang, yang hadir bukanlah kemenangan mahasiswa atas tirani, melainkan kekuatan manuver politik elit.

Terlepas dari antiklimaks kasus ini, saya ingin mengajak untuk kembali pada hikmah yang telah saya tulis sebelumnya. Bahwa gerakan mahasiswa masih sangat memungkinkan untuk bersatu dan bangkit kembali. Fakta bahwa motif tirani masih hidup seharusnya menjadi pemicu untuk kesadaran gerakan agar bergerak makin masif dan terstruktur dalam rangka menumbangkan tirani. People power masih memiliki tempat di negeri ini, dan mahasiswa adalah entitas harapan yang menjadi garda terdepan. Tantangan ke depan makin berat, semoga pundak kalian semakin dikuatkan, wahai mahasiswa, wahai pewaris peradaban. Hadirmu telah dinanti untuk menata ulang taman Indonesia. Hadirmu telah dinanti, untuk menghadirkan senyum para orang tua sebelum senja tiba.

Yogyakarta, 7 Januari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar