Rabu, 27 Januari 2016

Menjemput Takdir

Hari ini saya terlibat sebuah diskusi dengan beberapa kawan dan guru. Dari tema kemanusiaan, hingga peluang gerakan besar lewat kebudayaan. Betapa gagapnya kita menghadapi gempuran zaman, di mana seharusnya kita mampu berselancar di tengah gelombang. Kemudian diskusi berlanjut, hingga mencapai tematik pernikahan.

Guru saya sudah menikah, sementara saya dan kawan saya belum. Pada diskusi tersebut beliau menyampaikan beberapa hal sebagai bekal bagi saya dan kawan saya untuk mempersiapkan segalanya menjelang pernikahan. Dimulai dari mempersiapkan dalam konteks internal, maupun eksternal.

Pada konteks internal, niat dan orientasi menjadi penekanan. Guru saya berkata bahwa ini adalah bagian yang paling rumit, namun paling fundamental. Banyak orang yang gagal pernikahannya atau kesulitan dalam menjalani mahligai rumah tangga karena belum sempurna niat dan orientasinya. Niat dan orientasi akan tentukan langkah selanjutnya. Ia akan menjadi bahan bakar sekaligus pengingat di kala kejenuhan dalam perjalanan didapatkan. Sepasang suami-istri dapat dikatakan sebagai teman hidup, teman selamanya, dan selamanya itu bukan waktu yang sebentar bukan? Maka yang menjadi pertanyaan mendasar yang harus dijawab sendiri adalah mengapa kau ingin menikah? Pertanyaan sederhana namun rumit. Di sinilah faktor transendental harus menjadi yang utama. Di mana pernikahan dilandasi karena ketaatan pada Allah swt. Ketaatan untuk memenuhi segenap agama, ketaatan untuk menjaga diri dari godaan dunia, ketaatan dalam rangka memperbesar kekuatan dalam menebarkan kebermanfaatan bagi semesta. Perenungan mendalam harus dilakukan. Niat dan orientasi harus diluruskan. Rumit memang, tapi bukan tidak mungkin.

Kemudian yang kedua, masih dalam konteks internal, ilmu dan kapasitas diri menjadi penting. Pada hal ini, persiapkan diri tentang pengetahuan tentang esensi pernikahan, bagaimana melaluinya, dan jangan lupakan bahwa salah satu tujuan pernikahan adalah menambah keturunan, maka kemampuan untuk untuk menjadi ayah atau ibu, dan mendidik anak pula harus dipelajari. Tak harus sempurna, tapi paling tidak mulailah sebelum proses pernikahan dilakukan.

Ketiga, siapkan visi dan misi pernikahan. Rencana ke depan harus sudah dipikirkan walaupun sangat mungkin terjadi perubahan dalam perjalanan. Tentang peran keluarga di masyarakat, hingga materi.

Pada konteks eksternal, baru bicara tentang dengan siapa akan menikah. Sekali lagi, guru saya menekankan, bahwa sebelum bicara dengan siapa akan menikah, pastikan niat dan orientasi sudah benar. Penekanan itu terus beliau ulang. Kemudian, barulah memilih dengan siapa akan menikah. Jika sudah mempunyai kecenderungan hati, tak mengapa langsung kau ikhtiarkan. Karena kita sama sekali belum mengetahui siapa yang menjadi jodoh kita. Satu-satunya cara adalah dengan mengikhtiarkan dengan melamar. Jika jodoh akan bersama, jika tak jodoh paling tidak sudah ada kepastian dengan berusaha. Melamar orang yang dicintai bukanlah sebuah kesalahan, ketika memang dibingkai untuk pernikahan, bukan sekedar modus atau sesuatu yang mengarah pada fitnah. Namun jika belum punya pilihan, tak ada salahnya meminta rekomendasi pada orang kepercayaan.

Dalam hal pasangan, harus dipahami bahwa menikah bukan sekedar menyatunya dua orang yang saling mencintai. Tapi pernikahan adalah persatuan dua keluarga besar, dua kebudayaan, dan dua karakteristik yang berbeda yang tentunya hadir dengan kebaikan dan kekurangan masing-masing. Ini juga harus dipertimbangkan, karena kita seringkali lebih siap menerima kelebihan dibandingkan dengan kekurangan. Pada hal ini, jangan pernah berpikir untuk mendapatkan yang sempurna karena jatuhnya akan kecewa, namun berhajatlah untuk menghebatkan diri bersama.

Begitulah kira-kira diskusi kami hari ini, semoga menginspirasi mereka yang tengah berjuang menjemput takdir.

Yogyakarta, 27 Januari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar