Jumat, 29 Juli 2016

Paskibra

Pengalaman adalah guru terbaik. Pengalaman selalu hadir dengan  kejujuran. Saat kesakitan harus kita rasakan, jadilah ia menyakitkan, dan sebaliknya. Hingga rasa sakit atau bahagia itulah yang kemudian menjelma menjadi sebuah referensi satu fase kehidupan bilamana kita berhadapan dengan situasi yang nyaris serupa, meski tak sama. Dengan pengalaman itulah kita bisa belajar untuk tidak jatuh ke dalam lubang yang sama, ataupun meningkatkan capaian atas keberhasilan sebelumnya.

Pengalaman identik dengan ruang belajar. Di mana setiap orang akan punya ruang belajar masing-masing yang tentunya akan sangat membekas dan mempengaruhi karakter diri dan bagaimana ia berperan di dalam sebuah lingkungan. Seorang yang berpengalaman aktif di lembaga sosial, biasanya akan terlihat berbeda dalam bersikap atau memandang sesuatu dibandingkan dengan orang yang tak punya pengalaman di wilayah itu.

Begitu pula dengan saya. Hari ini, masih di Wates, saya didapuk oleh pihak sekolah untuk membantu pendampingan pelatihan TONTI (Pleton Inti) bagi siswa SMP N 1 Wates. Sedikit berbeda dengan sistem yang saya temui di Jawa Barat, di mana kegiatan pelatihan baris-berbaris, kedisiplinan, dan kepemimpinan bisa ditemui di kegiatan ekstrakurikuler Paskibra, di sini semua siswa dilibatkan dalam proses seleksi Tonti yang nantinya akan dilombakan, hanya saja kemudian tidak dibuat menjadi ekskul resmi. Kelanjutan dari anggota Tonti yang telah diseleksi ini biasanya akan mewujud menjadi semacam komunitas yang bernama DPT (Dewan Pelatih Tonti) yang di tahun selanjutnya akan bertugas melatih generasi penerusnya di Tonti.

Alhamdulillah, saya sudah tidak asing lagi dengan kegiatan baris-berbaris semacam ini karena sejak saya di bangku SMP sampai dengan lulus SMA saya aktif berkegiatan di Paskibra. Dari mulai menjadi anggota sampai menjadi pengurus. Di SMP dan SMA saya sempat menduduki posisi yang sama, sebagai Wakil Ketua, atau disebut Wakil Lurah dalam Paskibra di tempat kami, dan PLT Lurah ketika Ketua Paskibra pada waktu itu menjadi delegasi sekolah di Paskibraka tingkat Kabupaten. Saya sendiri sempat ikut seleksi, hanya saja gugur di seleksi akhir, konon karena tinggi badan saya kurang 1 cm.

Paskibra. Bagi saya ia bukanlah sekedar organisasi. Ia adalah rumah tempat saya bermula. Saya sangat mengakui banyak karakter diri dan sikap yang saya jalani saat ini tidak lepas dari tempaan yang saya dapatkan di paskibra. Bagaimana kami diajarkan untuk menjadi manusia yang tidak egois, karena kebersamaan dalam paskibra sangat dijunjung tinggi. Satu bahagia semua merasakannya, pun ketika satu sakit, semua akan merasakannya. Itulah mengapa persahabatan dan soliditas kami di paskibra cukup disorot pada waktu itu. Selain itu, disiplin jelas menjadi pegangan. Bagaimana kami ditempa untuk melaksanakan banyak hal tepat pada waktunya. Keterlambatan akan berbuah konsekuensi, entah itu berupa push-up atau hal yang lainnya. Keberanian dan daya tahan, itu pula yang saya dapatkan dari paskibra. Mungkin sekarang tamparan, tendangan, atau makian adalah hal yang tabu untuk dilaksanakan dalam pembelajaran apapun di sekolah. Dan alhamdulillah, dulu saya masih merasakannya. Namun, justru itulah bagi saya yang menumbuhkan daya tahan dan keberanian menghadapi berbagai situasi. 

Sejujurnya saya ingin menulis banyak, hanya saja waktu yang tidak mencukupi.
Sederhananya, saya sedang ingin mengungkapkan kerinduan yang teramat dalam pada lingkungan itu, kebersamaan itu, disiplin yang tinggi itu, lapangan yang panas, lelah yang teramat, bahkan sampai sedikit kontak fisik tanda cinta dari senior kami. 

Terima kasih, PASKIBRA,

Wates, 29 Juli 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar