Jumat, 24 Februari 2017

Paradoks Negeriku

Pasca Pilpres 2014 yang lalu, tensi politik Indonesia terus berada pada suhu tinggi. Berawal dari terbelahnya parlemen, menjadi Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), pertarungan politik di level elite menjadi sangat terasa. Usia pembelahan parlemen memang tidak terlalu lama, ditandai dengan berpindahnya haluan beberapa partai politik dari oposisi menjadi pendukung pemerintah, namun bukan berarti diikuti dengan turunnya tensi politik. Kritik tajam kepada pemerintah tetap muncul dari banyak pihak, baik itu mahasiswa, serikat buruh, maupun elemen masyarakat lainnya. Partai Politik di parlemen yang tetap konsisten sebagai oposisi strategis pun tetap memainkan perannya yang secara umum baik untuk demokrasi, namun suasana politik tetap panas. Menjelang Pilkada, situasi makin memanas, bahkan isu, yang akhirnya berujung skandal karena telah terbukti, sara tentang penistaan agama mencuat ke permukaan. Hal ini seakan membuka banyak kartu tentang keberpihakan politik dari institusi yang seharusnya berposisi netral. Beragam kondisi tersebut berimbas pada situasi yang semakin tidak stabil, dan membuka mata masyarakat tentang keberpihakan politik dan pertarungan kepentingannya. Rakyat seolah diabaikan.

Rakyat Indonesia sudah semakin cerdas. Dengan dukungan perkembangan teknologi dan kemudahan informasi, rakyat semakin mudah mendapatkan akses dan menarik kesimpulan dari situasi yang terjadi. Bahkan, rakyat semakin mudah untuk menyuarakan pendapat dan aspirasinya kepada publik, baik lewat sosial media, ataupun aksi jalanan. Dalam konteks demokrasi, hal ini merupakan kemajuan yang signifikan. Konsep vox populi vox dei yang menjadi semangat dalam demokrasi terealisasikan dengan baik. Hanya saja, terjadi paradoks dalam penegakkan demokrasi di negeri ini. Rezim yang seolah panik justru membuat berbagai macam cara untuk mengontrol suara rakyat. Bukan dalam arti mengakomodir, namun justru memaksa rakyat berpikiran seragam dengan metode mind control. Secara halus, negeri ini seolah digiring menuju totalitarianisme, kata Rocky Gerung. Padahal di pemerintahan, baik di level eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, bercokol nama-nama pengusung demokratisasi di era orde baru.

Di tengah situasi yang tidak menentu, negeri ini butuh optimisme. Penegakkan hukum yang tidak menentu, tajam kepada lawan dan tumpul terhadap kawan, kebijakan yang inkonstitusional, dan penyebaran berita yang justru memicu pecah belah rakyat harus segera ditindak dengan tegas. Pemerintah harus kembali kepada semangat demokrasi yang mengedepankan kepentingan rakyat di atas kepentingan penguasa. Rakyat yang sudah bingung, jangan dibuat semakin bingung. Hukum harus ditegakkan secara adil dan proporsional, tidak dimanipulasi hanya untuk melindungi kawan atau kepentingan politik personal. Setiap lembaga negara yang harus bersifat netral alangkah baiknya jika dikembalikan kredibilitasnya, bukan hanya oleh pemerintah, tapi oleh anggota dari lembaga itu sendiri.

Semoga negeri ini tidak menjadi negeri vigilante, dan jauh dari apa yang dikatakan oleh Thomas Hobbes, bahwa manusia adalah serigala untuk manusia lainnya. Semoga tidak.

Jogja, 22 Februari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar